Orang
Arab mempunyai dialek yang bermacam-macam. Hal ini karena selain dialek yang
mereka peroleh dari pendahulunnya, mereka juga mendapatkan dialek dari negeri
tetangganya.
Bahasa
kabilah Quraisy merupakan sumber bagi bahasa-bahasa yang lain. Penyebab
utamanya antara lain karena pekerjaan orang-orang Quraisy adalah berdagang
sehingga mereka banyak bergaul dengan warga negara lain yang melakukan ibadah
haji. Orang-orang Quraisy mengambil sebagian dialek dan kata-kata dari para
pendatang di Quraisy.
Allah
Zat Mahabijaksana menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
seluruh orang Arab dengan maksud untuk mempermudah mereka dalam memahaminya dan
sebagai kemukjizatan serta sebagai ajakan bertanding kepada orang-orang yang
pandai bicara agar mendatangkan satu surat atau satu ayat. Di samping itu,
untuk mempermudah bacaan, pemahaman, dan hafalan Al-Qur’an kepada mereka karena
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Allah SWT berfirman dalam Q.S.
Yusuf: 2
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
A.
Dalil-dalil Diturunkannya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan hadits dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jibril membacakan
Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu)
senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tujuh huruf.
(Hadits Bukhari Muslim dan lainnya)
Imam muslim
menambahkan, “Ibnu Syihab mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa tujuh
huruf itu untuk suatu perkara yang tidak diperselisihkan halal haramnya”.
2.
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang lafalnya dari Bukhari bahwa Umar bin
Khattab r.a. berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan
di masa hidupnya Rasulullah SAW aku mendengar bacaannya mengandung beberapa
huruf yang belum pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepadaku sehingga aku
hampir saja beranjak dari shalatku, namun aku menunggunya sampai salam. Setelah
salam, aku menarik sorbannya dan bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini
kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”, Aku menyela,
“Engkau telah berdusta, Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah
membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu, aku
mengajaknya untuk menghadap Rasulullah SAW lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah
SAW, aku telah mendengar lelaki ini membaca surat Al-Furqan dengan
beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau
sendiri telah membacakan surat Al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullah SAW
menjawab, “Hai Umar! Lepaskan dia”. Bacalah surat tersebut, wahai Hisyam!”
kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar. Rasul SAW bersabda,
“Begitulah surat itu diturunkan”, sambil sabdanya, “Bahwa Al-Qur’an ini
diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah!” (Hadits Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmizi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).
Dalam satu
riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan pula bacaan Umar r.a.
kemudian beliau bersabda, “Begitulah bacaan itu diturunkan”.
3.
Imam
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata, “Ketika aku
berada di masjid, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki. Kemudian ia shalat dan
membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu, masuk lagi lelaki lain yang
membaca berbeda dengan bacaan lelaki yang pertama. Setelah kami selesai shalat,
kami masuk ke rumah Rasulullah SAW, lalu aku bercerita bahwa, “si lelaki ini
membaca bacaan yang aku ingkari dan lelaki yang satunya lagi membaca berbeda
dengan bacaan lelaki yang pertama”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan
keduanya untuk membaca. Setelah mereka membaca, Rasulullah menganggap baik
bacaan mereka. Setelah menyaksikan hal itu terhapuslah dalam diriku sikap untuk
mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa jahiliyyah. Tatkala beliau
melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah
berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung, beliau menegaskan pada
diriku dan berkata, “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Al-Qur’an dengan satu
huruf (lahajah / dialek), kemudian aku meminta kepada Jibril untuk
memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, aku pun meminta lagi
kepadanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya, “Hai
Muhammad, bacalah Al-Qur’an dalam tujuh huruf (lahjah / dialek) dan
terserah kepadamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan
/ permintaan lagi”. Kemudian aku menjawabnya, “Ya Allah, ampunilah umatku,
ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat semua
makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibrahim a.s.”.
Imam Qurtubi
berkata, “Denyutan hati ini (dalam jiwa Ubay) adalah akibat dari sabda
Rasulullah SAW ketika orang-orang bertanya kepadanya, “Bahwasanya kami
mendapatkan sesuatu dalam diri kami, ketika seseorang merasa berat sekali untuk
mengatakannya. Rasulullah SAW bertanya, “Apakah sudah kalian temui jawabannya?”
“Ya” jawab mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Itu adalah iman yang jelas”. (H.R.
Muslim)
4.
Al-Hafiz
Abu Ya’la dalam musnad kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a.
berkata di atas mimbar, “Aku sebut nama Allah ketika teringat seorang laki-laki
yang mendengar Rasulullah berkata, Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf
yang kesemuanya tegas lagi sempurna”.
Ketika Umar
berdiri, hadirin pun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan
pula Rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang
kesemuanya tegas dan lengkap”. Kemudian Usman r.a. berkata, “Saya
menyaksikannya bersama mereka”.
5.
Imam
Muslim dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika
berada di oase Bani Ghaffar didatangi Malaikat Jibril a.s. Jibril berkata,
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan satu huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta kepada Allah ampunan dan
maghfirahnya sebab umatku tidak mampu menjalankan perintah itu”. Kemudian
Jibril datang untuk kedua kalinya, seraya berkata, “Allah telah memerintahkanmu
untuk membacakan Al-Qur’an dengan dua huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta
ampunan dan maghfirah kepada Allah, karena umatku tidak kuat menjalankannya”.
Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata, “Allah SWT memerintahkanmu
untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf”. Nabi menjawab,
“Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah, sebab umatku tidak sanggup
mengerjakannya”. Jibril datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata, “Kau
telah diperintahkan Allah untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh
huruf dan huruf mana saja yang mereka baca berarti benar”. (Hadits Riwayat Muslim).
6.
At-Turmuzi
juga meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan, “Rasulullah SAW berjumpa
dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata, “Kemudian Rasul berkata
kepada Jibril bahwa beliau diutus untuk ummat yang ummi (tidak bisa
menulis dan membaca). Di antaranya ada yang kakek-kakek, nenek-nenek, dan
anak-anak”. Jibril menjawab, “Perintahkan membaca Al-Qur’an dengan tujuh
huruf”. Imam Turmuzi mengatakan, “Hadits ini hasan lagi sahih”. Dalam suatu
lafal lain disebutkan, “Barang siapa membacanya dengan satu huruf saja berarti
telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”. Dituturkan dalam lafal Huzaefah,
“Kemudian aku berkata, “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk umat yang ummiyah
di dalamnya terdapat orang laki-laki, perempuan, kanak-kanak, pelayan (babu),
dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril berkata, “Bahwa
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.
7.
Imam
Ahmad mengeluarkan hadits dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari
Amr, bahwa ada seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’an. Kemudian Amr berkata
kepadanya, “Sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan
hal itu kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu
diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan
jangan kalian saling meragukan”.
8.
At-Tabari
dan At-Tabrani meriwayatkan dari Zaid bin Arqam. Ia berkata, “Seseorang
menghadap Rasul SAW lalu berkata, “Ibnu Mas’ud telah membacakan sebuah surat
kepadaku seperti yang telah dibacakan oleh Zaid bin Tsabit dan membacakan pula
kepadaku Ubay bin Ka’ab. Ternyata bacaan mereka berbeda-beda. Maka bacaan siapa
yang saya ambil?”. Rasulullah terdiam, sedangkan Ali berada di sampingnya,
kemudian Ali berkata, “Setiap orang di antara kalian hendaklah membaca menurut
pengetahuannya, karena kesemuannya baik lagi indah”.
9.
Ibnu
Jarir At-Tabari mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata,
“Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh
huruf, maka bacalah semampunya dan tidak berdosa. Tetapi jangan sekali-kali
mengakhiri zikir rahmat dengan azab atau zikir azab dengan rahmat”.
Hikmah
Diturunkan Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.
Mempermudah
umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur’an,
sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa
disatukan oleh sifat kearabannya. Kami ambil hikmah ini dengan alasan sabda
Rasulullah SAW, “Agar mempermudah umatku”. “Dan sesungguhnya umatku tidak mampu
melaksanakannya”. Dan lain-lain.
Seorang ahli
tahqiq Ibnu Jazari berkata, “Adapun sebabnya Al-Qur’an didatangkan dengan tujuh
huruf adalah memberikan keringanan kepada umat, serta memberikan kemudahan
sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat, dan spesialisasi yang diberikan
kepada umat utama di samping untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang
paling utama dan kekasih Allah telah memerintahkan umatnya untuk membacakan
Al-Qur’an dengan satu huruf”. Kemudian Nabi SAW menjawab, “Aku meminta ampunan
dan maghfirah kepada Allah karena umatku tidak mampu melakukannya”. Beliau
terus mengulang-ulang pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
Lebih lanjut
lagi, Imam Jazari mengatakan, “Seperti telah ditegaskan bahwa al-Qur’an
diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf, sedangkan kitab-kitab
sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf. Hal itu karena
Nabi-nabi terdahulu diutus untuk bangsa tertentu, sedangkan Nabi SAW diutus
untuk semua makhluk, kulit hitam atau kulit merah, dan bagi orang berbangsa Arab
atau orang berbangsa Ajam. Bahkan, orang-orang Arab sendiri, walaupun Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasanya, memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda.
Karena itu, sulit bagi mereka meskipun telah belajar dan berusaha dengan keras
untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf. Siapa yang tidak pernah membaca
kitab seperti keterangan Rasul di atas, meskipun mereka pun dipaksa untuk
berpindah dari bahasa dan dialeknya, tidak akan melakukannya.
2.
Menyatukan
umat Islam dalam satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan
di kalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan
lainnya. Oleh karena itulah, Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf yang
terpilih dari bahasa Kabilah-kabilah Arab yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy.
Ini merupakan hikmah Ilahi yang luhur karena menyatukan bahasa nasional
merupakan faktor dalam menyatukan bangsa, khususnya pada masa pertama kalinya
bangsa itu berkembang.
B.
Arti Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
“Al-Ahruf” adalah bentuk jamak dari lafal “harf”. Lafal “harf” ini
mempunyai makna yang banyak. Salah seorang pengarang kamus mengatakan, “harf”
dari segala sesuatu berarti ujungnya atau tepinya, sedangkan “harf” gunung
berarti puncaknya. Pengertian harf ialah salah satu bentuk huruf hijaiyah. Sebagian
orang ada yang mengabdi kepada Allah secara “harf” dalam arti hanya dari
satu segi saja, yaitu mengabdi kepada Allah ketika dalam keadaan suka, tidak
dalam keadaan duka, ragu, dan tidak tenang. Dengan arti lain, ia memasuki agama
tidak secara mantap. Dengan demikian:
وَنُزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Al-Qur’an diturunkan atas maknanya,
“Dari tujuh bahasa orang-orang Arab”, bukanlah pengertiannya bahwa setiap huruf
mempunyai tujuh pengertian. Meskipun Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh
huruf atau sepuluh atau lebih dari itu, pengertiannya bahwa tujuh bahasa ini
berbeda-beda dalam Al-Qur’an”.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapatlah kami simpulkan bahwa “Al-Harfu” itu dari pengertian “lafal” yang
mempunyai beberapa pengertian. Dan yang dimaksud dengan “lafal” adalah
salah satu arti yang ditentukan oleh alasan-alasan dan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan lafal “Al-Harf” adalah “wajah” (segi), dengan alasan sabda Rasul
SAW:
اُنْزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Artinya: “Al-Qur’an diturunkan dalam
bentuk tujuh huruf”.
عَلَى ialah menunjukkan bahwa syarat di sini untuk
memperluas dan mempermudah dalam arti Al-Qur’an diturunkan dengan keluasan bagi
pembacanya untuk membaca dengan bentuk tujuh wajah (bacaan). Ia boleh dibaca
dengan wajah yang dikehendaki si pembaca sebagai ganti dari pemiliknya.
Seolah-olah Rasul bersabda bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan syarat dan keluasan
semacam ini.
C.
Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Pengertian Kata “Al-Ahruf”
yang Terdapat dalam Hadits
Di sini banyak sekali pertentangan
dan perselisihan pendapat. Berikut ini akan kami kemukakan sebagiannya dan akan
kami tarjih pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran:
1.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh bahasa
dari kalangan orang Arab dalam pengertian yang sama. Dengan pengertian bahwa
dialek orang-orang Arab dalam mengungkapkan suatu maksud itu berbeda-beda,
sedangkan Al-Qur’an datang dengan menggunakan lafal-lafal menurut dialek
tersebut. Kalau saja tidak terdapat perbedaan, niscaya Al-Qur’an akan
diturunkan dalam satu lafal saja. Dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh
bahasa tersebut adalah: Quraisy, Tsaqif, Hawazan, Kinanah, Tamim, Yaman, dan
Hudzail.
2.
Sebagian
ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh
bahasa dari orang-orang Arab yang menjadi tempat Al-Qur’an diturunkan, dengan
pengertian bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa
tadi, yaitu yang paling baik di kalangan Arab. Kebanyakan yang dipakai adalah
bahasa Quraisy, ada pula yang merupakan bahasa Hudzail, Tsaqif,
Kinanah, Tamim, dan Yaman. Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat
inilah yang paling benar karena didukung oleh Al-Baihaqi dan dipilih oleh
Al-Bukhari serta pengarang kitab kamus.
3.
Yang
dimaksud dengan Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
(bagian) di dalam Al-Qur’an. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan
macam (bagian) dan uslub pengungkapannya. Di antara mereka ada yang mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah: amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan
amsal. Sementara itu, ulama lainnya mengatakan wa’ad, wa’id, halal,
haram, mawaid, amsal, dan ihtijaj. Pendapat lainnya lagi mengatakan:
muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, khusus, umum, dan qasas.
4.
Yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah beberapa segi lafal yang berbeda dalam satu
kalimat dan satu arti seperti lafal: halumma, aqbil, ta’al, ajjil, isra’,
qasdi, dan nahwi. Lafal yang tujuh memiliki satu pengertian, yaitu
perintah untuk menghadap. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli fikih
dan ahli hadits, antara lain Ibnu Jarir, At-Tabari, dan At-Tahawi.
5.
Yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah mengenai perbedaan dalam tujuh hal:
a.
Perbedaan
nama-nama dalam bentuk mufrad, mudzakkar, dan cabang-cabangnya. Contoh
firman Allah SWT:
“Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.
(Al-Mu’minun: 8)
اَمَانَتِهِمْ dibaca dalam bentuk jamak (اَمَانَاتٍ dan ifrad اَمَانَةِ)
b.
Perbedaan
dalam tasrif fi’il dari bentuk madhi, mudhari’, dan amar.
Contoh firman Allah SWT:
“Maka mereka
berkata: "Ya Tuhan Kami jauhkanlah jarak perjalanan kami[1239]", dan
mereka Menganiaya diri mereka sendiri; Maka Kami jadikan mereka buah mulut dan
Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi Setiap orang yang sabar
lagi bersyukur”. (Saba’: 19)
[1239] Yang
dimaksud dengan permintaan ini ialah supaya kota-kota yang berdekatan itu
dihapuskan, agar perjalanan menjadi panjang dan mereka dapat melakukan monopoli
dalam perdagangan itu, sehingga Keuntungan lebih besar.
Dibaca dengan
dinasalkan pada lafal رَبَّنَا karena menjadi munada dan dibaca dengan بَاعِدْ
sebagai fi’il amar. Dan dibaca رَبُّنَا بَعَّدَ dengan merafa’kan lafal رَبُّ karena menjadi mubtada’ dan بَعَّدَ dengan mentasydidkan
huruf ‘ain sebagai fi’il madhi yang kedudukannya menjadi khabar
(sebutan).
c.
Perbedaan
dalam bidal (penggantian), baik berupa bidal huruf dengan huruf.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Atau Apakah
(kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya)
telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan
kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus
tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah
lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini
sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah
tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu
yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi
tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia;
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah
nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata:
"Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-Baqarah:
259)
Dibaca dengan نُنْشِزُهَا
atau نَنْشِزُهَا dengan memfathahkan huruf nun. Contoh lain adalah
firman Allah SWT:
“Dan pohon
pisang yang bersusun-susun (buahnya)”. (Al-Waqi’ah: 29)
Dibaca طَلْحٍ di
sini tidak ada perbedaan antara isim dengan fi’il, atau bidal
lafal dengan lafal, seperti firman Allah كَالْعِهْنِ
الْمَنْفُوْسِ Ibnu Mas’ud
membacanya كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْسِ
d.
Perbedaan
dalam takdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan) yang ada
kalanya dalam bentuk huruf seperti firman Allah اَفَلَمْ
يَيْأَسِ dibaca اَفَلَمْ يَأْيَسِ
atau dalam bentuk kalimat seperti firman Allah:, وَيَقْتُلُوْنَ dalam bentuk aktif dan وَيُقْتَلُوْنَ dibaca dalam bentuk
pasif, atau sebaliknya. Contoh lain firman Allah:
“Dan datanglah
sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya”. (Qaaf: 19)
Dibaca وَجَاءَتْ سَكَرَتُ الْحَقِّ بِالْمَوْتِ
e.
Perbedaan
dari segi i’rab (harakat akhir kata)
Contoh firman
Allah:
“Maka tatkala
wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita
itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata
(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya,
dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini
bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang
mulia." (Q.S. Yusuf: 31)
Ibnu Mas’ud
membacanya dengan rafa’ مَا هَذَا بَشَرٌ , firman Allah SWT:
“Yang mempunyai
'Arsy, lagi Maha mulia”. (Q.S. Al-Buruj: 15)
Dengan merafa’kan
lafal اَلْمَجِيْدُ sebagai sifat lafal ذُوْ dan mengkasrahkan اَلْمَجِيْدِ karena
menjadi sifat lafal اَلْعَرْشِ
f.
Perbedaan
dari segi penambahan dan pengurangan.
Seperti firman
Allah:
“Dan penciptaan
laki-laki dan perempuan”. (Q.S. Al-Lail: 3)
Dibaca وَالذَّكَرَ وَالاُنْثَى dengan membuang lafal مَا خَلَقَ
g.
Perbedaan
lahjah tentang tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), imalah,
izhar (jelas), dan idhgam (dengung). Perbedaan semacam ini banyak
sekali, di antaranya imalah dan tidak imalah, seperti firman
Allah:
“Sudah
sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa”. (An-Nazi’at: 15)
Pendapat yang
terakhir ini dikemukakan oleh Imam Ar-Razi dan didukung oleh Ibnu Qutaibah,
Ibnu Jazari, dan Ibnu Thayib yang dinukil oleh Al-Zarqani dalam kitabnya Manahilul
Irfan yang diperkuatnya dengan beberapa dalil.
Tarjih (Penganalisisan)
Pendapat yang hampir mendekati
kebenaran adalah pendapat yang terakhir yang dipilih oleh Imam Ar-Razi dan
dipegang oleh Imam Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan. Ia
memperkuatnya dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Pendapat
ini didukung oleh hadits-hadits sebagaimana tersebut di atas.
2.
Pendapat
ini berpegang pada teori penyelidikan yang mendetail terhadap perbedaan qiraat
dan sumbernya, yaitu tentang huruf yang tujuh.
3.
Tidak
ada bantahan terhadap pendapat ini.
Pendapat-pendapat tentang “ahruf
sab’ah” secara lengkap dapat anda peroleh dari kitab Manahilul Irfan karangan
Az-Zarqani. Di sana dikemukakan kelemahan-kelemahan pendapat lain serta
bantahan-bantahannya dari halaman 165 sampai 177.
Di bawah ini, kami mengutip
ringkasan pendapat Abi Fadal Ar-Razi dalam kitabnya Al-Lawaih. Beliau
berkata, “Bacaan Al-Qur’an dalam perselisihannya tidak atau keluar dari tujuh
huruf”.
Pertama : Perbedaan dalam isim berupa tunggal (ifrad),
tatsniyah, dan jamak baik mudzakkar maupun mu’annats.
Kedua : Perbedaan dalam tasrif fi’il baik dalam bentuk madhi,
mudhari’, maupun amar.
Ketiga : Perbedaan dari segi i’rab.
Keempat : Perbedaan dari segi pengurangan dan penambahan.
Kelima : Perbedaan dari segi takdim dan ta’khir.
Keenam : Perbedaan dari segi ibdal.
Ketujuh : Perbedaan dialek (lahjah), imalah, tarqiq, dan tafkhim,
izhar, dan idhgam, dan lain-lain.
D.
Apakah Hingga Kini Tujuh Huruf Itu Masih Terdapat dalam
Mushaf-mushaf?
1.
Sebagian
ulama fiqh, qurra’ (ahli baca), dan mutakallimin (ahli teologi)
berpendapat bahwa semua huruf tersebut terdapat pada Mushaf Usmani, dengan
alasan:
a.
Tidak
diperkenankannya bagi suatu bangsa untuk mengabaikan kutipan sesuatu dari Mushaf
Usmani.
b.
Para
sahabat berpendapat bahwa suhu yang dinukil dan ditulis oleh Usman itu berasal
dari suhu yang ditulis oleh Abu Bakar r.a.
c.
Suhuf
yang berada pada masa Abu Bakar telah mencakup tujuh huruf, yang kemudian
ditulis kembali oleh Mushaf Usmani dalam tujuh huruf pula.
d.
Sabda
Nabi, “Bahwasanya umatku tidak akan mampu melakukan hal itu”. Tidaklah
dimaksudkan hanya pada masa sahabat saja, sedangkan kekekalan dimudahkannya
pembacaan Al-Qur’an seiring dengan kekekalan kemukjizatannya.
2.
Jumhur
ulama dari kalangan salaf, khalaf, dan Imam-imam muslimin berpendapat bahwa Mushaf
Usmani mencakup huruf-huruf yang tujuh yang terkandung dalam bentuk
tulisannya saja, serta penawaran Nabi yang terakhir kepada Malaikat Jibril.
3.
Ibnu
Jarir At-Tabari dan para ulama yang sealiran dan sependapat dengannya
mengatakan bahwa Mushaf Usmani itu hanya melambangkan satu bentuk huruf
dari ke tujuh huruf tersebut. Huruf yang tujuh itu hanya terdapat pada masa
Rasul, Abu Bakar, dan Umar. Adapun pada masa Usman, maka umat yang berada di
bawah pimpinannya mencakup satu huruf saja untuk mempersatukan kaum muslimin.
Dengan huruf yang satu itu, Usman menulis semua mushafnya.
Az-Zarqani dalam Manahilul Irfan halaman
662 mengatakan, “Bila kita kembalikan tujuh huruf ini kepada Mushaf Usmani dalam
bacaan yang ditulisnya menurut apa adanya, kami menarik suatu kesimpulan yang
tidak bisa dibantah dan sampai pada pemisah (mana yang tepat), yaitu bahwasanya
Mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf, tetapi dengan arti bahwa
masing-masing dari mushaf mengandung huruf yang sesuai dengan tulisan atau khat
Usman, baik secara ,menyeluruh maupun sebagiannya. Mushaf-mushaf itu secara
langsung tidak kurang dari satu huruf pun”.
Syekh Az-Zarqani menjelaskan adanya
tujuh huruf berdasarkan pendapatnya yang selektif. Huruf-huruf itu tetap ada
dalam Mushaf Usmani, namun kami mencukupkan hanya menyebutkan salah satu
contoh saja, sedangkan bentuk huruf yang tujuh lainnya telah dimansukh pada
waktu pagelaran yang terakhir. Contoh firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (Q.S. Al-Mu’minun: 8)
Dibaca dengan menjama’kan dan
mengifradkan lafal اَلْاَمَانَةُ bacaan semacam ini tercakuplah dalam Mushaf
karena Rasmul Usmani terdapat seperti لِاَمَنَتِهِمْ dengan tulisan mufrad, tetapi
dengan mempergunakan alif berdiri untuk menunjukkan bacaan jama’, serta
tidak diberi titik dan harakat.
Analisis
tentang Pendapat Tabari
At-Tabari mengatakan bahwa huruf
yang enam telah dinasakh (dihilangkan) pada masa Usman r.a. dan yang tinggal
hanyalah satu huruf untuk menjaga kesatuan umat Islam dari perpecahan tatkala
satu sama lain saling mengufurkan sebab adanya perbedaan dalam bacaan (qiraat).
Maka tidak ada jalan lain yang diambil umat pada masa itu untuk
menyelesaikan persoalan semacam ini, kecuali dengan menyeragamkan umat dalam
satu bacaan.
Bantahan
1.
Para
sahabat pada masa Rasul berbeda pendapat tentang bacaan, yang hampir saja
menyebabkan terjadinya fitnah. Bagaimana cara Rasul dalam menyelesaikan
persoalan ini?
Penyelesaian
satu-satunya adalah menetapkan masing-masing kelompok yang berselisih untuk
membaca menurut bacaan yang mereka terima, serta memberi pengertian kepada
mereka bahwa keanekaragaman bacaan itu merupakan rahmat dari Allah dan
memudahkan bagi mereka.
2.
Rasul
bersabda dengan haditsnya, “Bahwasanya umatku tidak akan mampu untuk
melaksanakan hal itu”, sedangkan umatnya masih akan ada sampai hari kiamat.
Sebagaimana kita lihat sekarang bahwa ada sebagian umat Islam yang mengalami
kesulitan dalam mengucapkan sebagian huruf dan tidak bisa menirukan suatu macam
dialek, tetapi dengan mudah dapat mengucapkan dialek lainnya.
3.
Seandainya
huruf-huruf bacaan yang enam telah dinasakh pada masa Usman r.a. niscaya
tidak ada lagi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang perbedaan bacaan,
tetapi pada kenyataannya kami masih melihat adanya perbedaan pendapat tentang
bacaan yang jumlahnya lebih dari empat puluh pendapat.
Kesimpulan
Pada masa sekarang ini para ulama
telah sepakat untuk berpedoman kepada bacaan yang benar dari mereka (tujuh
qari’). Penurunan Al-Qur’an dengan tujuh huruf itu sebagai kelapangan dari
Allah dan rahmat bagi umat-Nya. Karena itu, kalau masing-masing kelompok itu
dipaksakan maka setiap kelompok tadi akan melupakan bahasanya dan berpaling
dari kebiasaan yang mereka lakukan, baik berupa imalah, hamaz, itsmam, mad maupun
yang lainnya karena menyulitkan bagi mereka.