Sabtu, 02 Juni 2012

Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf (Lahjah / Dialek)


Orang Arab mempunyai dialek yang bermacam-macam. Hal ini karena selain dialek yang mereka peroleh dari pendahulunnya, mereka juga mendapatkan dialek dari negeri tetangganya.
Bahasa kabilah Quraisy merupakan sumber bagi bahasa-bahasa yang lain. Penyebab utamanya antara lain karena pekerjaan orang-orang Quraisy adalah berdagang sehingga mereka banyak bergaul dengan warga negara lain yang melakukan ibadah haji. Orang-orang Quraisy mengambil sebagian dialek dan kata-kata dari para pendatang di Quraisy.
Allah Zat Mahabijaksana menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh orang Arab dengan maksud untuk mempermudah mereka dalam memahaminya dan sebagai kemukjizatan serta sebagai ajakan bertanding kepada orang-orang yang pandai bicara agar mendatangkan satu surat atau satu ayat. Di samping itu, untuk mempermudah bacaan, pemahaman, dan hafalan Al-Qur’an kepada mereka karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Yusuf: 2
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
A.  Dalil-dalil Diturunkannya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.    Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tujuh huruf. (Hadits Bukhari Muslim dan lainnya)
Imam muslim menambahkan, “Ibnu Syihab mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa tujuh huruf itu untuk suatu perkara yang tidak diperselisihkan halal haramnya”.
2.    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang lafalnya dari Bukhari bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidupnya Rasulullah SAW aku mendengar bacaannya mengandung beberapa huruf yang belum pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepadaku sehingga aku hampir saja beranjak dari shalatku, namun aku menunggunya sampai salam. Setelah salam, aku menarik sorbannya dan bertanya, “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”, Aku menyela, “Engkau telah berdusta, Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu, aku mengajaknya untuk menghadap Rasulullah SAW lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, aku telah mendengar lelaki ini membaca surat Al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullah SAW menjawab, “Hai Umar! Lepaskan dia”. Bacalah surat tersebut, wahai Hisyam!” kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar. Rasul SAW bersabda, “Begitulah surat itu diturunkan”, sambil sabdanya, “Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah!” (Hadits Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmizi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).
Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan pula bacaan Umar r.a. kemudian beliau bersabda, “Begitulah bacaan itu diturunkan”.
3.    Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata, “Ketika aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki. Kemudian ia shalat dan membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu, masuk lagi lelaki lain yang membaca berbeda dengan bacaan lelaki yang pertama. Setelah kami selesai shalat, kami masuk ke rumah Rasulullah SAW, lalu aku bercerita bahwa, “si lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan lelaki yang satunya lagi membaca berbeda dengan bacaan lelaki yang pertama”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan keduanya untuk membaca. Setelah mereka membaca, Rasulullah menganggap baik bacaan mereka. Setelah menyaksikan hal itu terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa jahiliyyah. Tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung, beliau menegaskan pada diriku dan berkata, “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf (lahajah / dialek), kemudian aku meminta kepada Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, aku pun meminta lagi kepadanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya, “Hai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dalam tujuh huruf (lahjah / dialek) dan terserah kepadamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan / permintaan lagi”. Kemudian aku menjawabnya, “Ya Allah, ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibrahim a.s.”.
Imam Qurtubi berkata, “Denyutan hati ini (dalam jiwa Ubay) adalah akibat dari sabda Rasulullah SAW ketika orang-orang bertanya kepadanya, “Bahwasanya kami mendapatkan sesuatu dalam diri kami, ketika seseorang merasa berat sekali untuk mengatakannya. Rasulullah SAW bertanya, “Apakah sudah kalian temui jawabannya?” “Ya” jawab mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Itu adalah iman yang jelas”. (H.R. Muslim)
4.    Al-Hafiz Abu Ya’la dalam musnad kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a. berkata di atas mimbar, “Aku sebut nama Allah ketika teringat seorang laki-laki yang mendengar Rasulullah berkata, Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas lagi sempurna”.
Ketika Umar berdiri, hadirin pun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula Rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas dan lengkap”. Kemudian Usman r.a. berkata, “Saya menyaksikannya bersama mereka”.
5.    Imam Muslim dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika berada di oase Bani Ghaffar didatangi Malaikat Jibril a.s. Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta kepada Allah ampunan dan maghfirahnya sebab umatku tidak mampu menjalankan perintah itu”. Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya, seraya berkata, “Allah telah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an dengan dua huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah, karena umatku tidak kuat menjalankannya”. Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata, “Allah SWT memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf”. Nabi menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah, sebab umatku tidak sanggup mengerjakannya”. Jibril datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata, “Kau telah diperintahkan Allah untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf dan huruf mana saja yang mereka baca berarti benar”. (Hadits Riwayat Muslim).
6.    At-Turmuzi juga meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan, “Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata, “Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa beliau diutus untuk ummat yang ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Di antaranya ada yang kakek-kakek, nenek-nenek, dan anak-anak”. Jibril menjawab, “Perintahkan membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. Imam Turmuzi mengatakan, “Hadits ini hasan lagi sahih”. Dalam suatu lafal lain disebutkan, “Barang siapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca”. Dituturkan dalam lafal Huzaefah, “Kemudian aku berkata, “Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk umat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang laki-laki, perempuan, kanak-kanak, pelayan (babu), dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali”. Jibril berkata, “Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.
7.    Imam Ahmad mengeluarkan hadits dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari Amr, bahwa ada seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’an. Kemudian Amr berkata kepadanya, “Sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan hal itu kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian saling meragukan”.
8.    At-Tabari dan At-Tabrani meriwayatkan dari Zaid bin Arqam. Ia berkata, “Seseorang menghadap Rasul SAW lalu berkata, “Ibnu Mas’ud telah membacakan sebuah surat kepadaku seperti yang telah dibacakan oleh Zaid bin Tsabit dan membacakan pula kepadaku Ubay bin Ka’ab. Ternyata bacaan mereka berbeda-beda. Maka bacaan siapa yang saya ambil?”. Rasulullah terdiam, sedangkan Ali berada di sampingnya, kemudian Ali berkata, “Setiap orang di antara kalian hendaklah membaca menurut pengetahuannya, karena kesemuannya baik lagi indah”.
9.    Ibnu Jarir At-Tabari mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah semampunya dan tidak berdosa. Tetapi jangan sekali-kali mengakhiri zikir rahmat dengan azab atau zikir azab dengan rahmat”.
Hikmah Diturunkan Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.    Mempermudah umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur’an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat kearabannya. Kami ambil hikmah ini dengan alasan sabda Rasulullah SAW, “Agar mempermudah umatku”. “Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya”. Dan lain-lain.
Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazari berkata, “Adapun sebabnya Al-Qur’an didatangkan dengan tujuh huruf adalah memberikan keringanan kepada umat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat, dan spesialisasi yang diberikan kepada umat utama di samping untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah telah memerintahkan umatnya untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf”. Kemudian Nabi SAW menjawab, “Aku meminta ampunan dan maghfirah kepada Allah karena umatku tidak mampu melakukannya”. Beliau terus mengulang-ulang pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
Lebih lanjut lagi, Imam Jazari mengatakan, “Seperti telah ditegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf, sedangkan kitab-kitab sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf. Hal itu karena Nabi-nabi terdahulu diutus untuk bangsa tertentu, sedangkan Nabi SAW diutus untuk semua makhluk, kulit hitam atau kulit merah, dan bagi orang berbangsa Arab atau orang berbangsa Ajam. Bahkan, orang-orang Arab sendiri, walaupun Al-Qur’an diturunkan dengan bahasanya, memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Karena itu, sulit bagi mereka meskipun telah belajar dan berusaha dengan keras untuk membaca Al-Qur’an dengan satu huruf. Siapa yang tidak pernah membaca kitab seperti keterangan Rasul di atas, meskipun mereka pun dipaksa untuk berpindah dari bahasa dan dialeknya, tidak akan melakukannya.
2.    Menyatukan umat Islam dalam satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan di kalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan lainnya. Oleh karena itulah, Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf yang terpilih dari bahasa Kabilah-kabilah Arab yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy. Ini merupakan hikmah Ilahi yang luhur karena menyatukan bahasa nasional merupakan faktor dalam menyatukan bangsa, khususnya pada masa pertama kalinya bangsa itu berkembang.
B.  Arti Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
“Al-Ahruf” adalah bentuk jamak dari lafal “harf”. Lafal “harf” ini mempunyai makna yang banyak. Salah seorang pengarang kamus mengatakan, “harf” dari segala sesuatu berarti ujungnya atau tepinya, sedangkan “harf” gunung berarti puncaknya. Pengertian harf  ialah salah satu bentuk huruf hijaiyah. Sebagian orang ada yang mengabdi kepada Allah secara “harf” dalam arti hanya dari satu segi saja, yaitu mengabdi kepada Allah ketika dalam keadaan suka, tidak dalam keadaan duka, ragu, dan tidak tenang. Dengan arti lain, ia memasuki agama tidak secara mantap. Dengan demikian:
وَنُزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Al-Qur’an diturunkan atas maknanya, “Dari tujuh bahasa orang-orang Arab”, bukanlah pengertiannya bahwa setiap huruf mempunyai tujuh pengertian. Meskipun Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf atau sepuluh atau lebih dari itu, pengertiannya bahwa tujuh bahasa ini berbeda-beda dalam Al-Qur’an”.
Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah kami simpulkan bahwa “Al-Harfu” itu dari pengertian “lafal” yang mempunyai beberapa pengertian. Dan yang dimaksud dengan “lafal” adalah salah satu arti yang ditentukan oleh alasan-alasan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan lafal “Al-Harf” adalah “wajah” (segi), dengan alasan sabda Rasul SAW:
اُنْزِلَ الْقُرْاَنُ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Artinya: “Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk tujuh huruf”.
عَلَى ialah menunjukkan bahwa syarat di sini untuk memperluas dan mempermudah dalam arti Al-Qur’an diturunkan dengan keluasan bagi pembacanya untuk membaca dengan bentuk tujuh wajah (bacaan). Ia boleh dibaca dengan wajah yang dikehendaki si pembaca sebagai ganti dari pemiliknya. Seolah-olah Rasul bersabda bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan syarat dan keluasan semacam ini.
C.  Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Pengertian Kata “Al-Ahruf” yang Terdapat dalam Hadits
Di sini banyak sekali pertentangan dan perselisihan pendapat. Berikut ini akan kami kemukakan sebagiannya dan akan kami tarjih pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran:
1.    Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh bahasa dari kalangan orang Arab dalam pengertian yang sama. Dengan pengertian bahwa dialek orang-orang Arab dalam mengungkapkan suatu maksud itu berbeda-beda, sedangkan Al-Qur’an datang dengan menggunakan lafal-lafal menurut dialek tersebut. Kalau saja tidak terdapat perbedaan, niscaya Al-Qur’an akan diturunkan dalam satu lafal saja. Dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh bahasa tersebut adalah: Quraisy, Tsaqif, Hawazan, Kinanah, Tamim, Yaman, dan Hudzail.
2.    Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh bahasa dari orang-orang Arab yang menjadi tempat Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, yaitu yang paling baik di kalangan Arab. Kebanyakan yang dipakai adalah bahasa Quraisy, ada pula yang merupakan bahasa Hudzail, Tsaqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling benar karena didukung oleh Al-Baihaqi dan dipilih oleh Al-Bukhari serta pengarang kitab kamus.
3.    Yang dimaksud dengan Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah tujuh macam (bagian) di dalam Al-Qur’an. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan macam (bagian) dan uslub pengungkapannya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah: amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amsal. Sementara itu, ulama lainnya mengatakan wa’ad, wa’id, halal, haram, mawaid, amsal, dan ihtijaj. Pendapat lainnya lagi mengatakan: muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, khusus, umum, dan qasas.
4.    Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah beberapa segi lafal yang berbeda dalam satu kalimat dan satu arti seperti lafal: halumma, aqbil, ta’al, ajjil, isra’, qasdi, dan nahwi. Lafal yang tujuh memiliki satu pengertian, yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli fikih dan ahli hadits, antara lain Ibnu Jarir, At-Tabari, dan At-Tahawi.
5.    Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah mengenai perbedaan dalam tujuh hal:
a.    Perbedaan nama-nama dalam bentuk mufrad, mudzakkar, dan cabang-cabangnya. Contoh firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (Al-Mu’minun: 8)
اَمَانَتِهِمْ dibaca dalam bentuk jamak (اَمَانَاتٍ dan ifrad اَمَانَةِ)
b.    Perbedaan dalam tasrif fi’il dari bentuk madhi, mudhari’, dan amar. Contoh firman Allah SWT:
“Maka mereka berkata: "Ya Tuhan Kami jauhkanlah jarak perjalanan kami[1239]", dan mereka Menganiaya diri mereka sendiri; Maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi Setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (Saba’: 19)

[1239] Yang dimaksud dengan permintaan ini ialah supaya kota-kota yang berdekatan itu dihapuskan, agar perjalanan menjadi panjang dan mereka dapat melakukan monopoli dalam perdagangan itu, sehingga Keuntungan lebih besar.
Dibaca dengan dinasalkan pada lafal رَبَّنَا karena menjadi munada dan dibaca dengan بَاعِدْ sebagai fi’il amar. Dan dibaca رَبُّنَا بَعَّدَ dengan merafa’kan lafal رَبُّ karena menjadi mubtada’ dan بَعَّدَ dengan mentasydidkan huruf ‘ain sebagai fi’il madhi yang kedudukannya menjadi khabar (sebutan).
c.    Perbedaan dalam bidal (penggantian), baik berupa bidal huruf dengan huruf. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Atau Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-Baqarah: 259)
Dibaca dengan نُنْشِزُهَا atau نَنْشِزُهَا dengan memfathahkan huruf nun. Contoh lain adalah firman Allah SWT:
“Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya)”. (Al-Waqi’ah: 29)
Dibaca طَلْحٍ di sini tidak ada perbedaan antara isim dengan fi’il, atau bidal lafal dengan lafal, seperti firman Allah كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْسِ Ibnu Mas’ud membacanya كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْسِ
d.   Perbedaan dalam takdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan) yang ada kalanya dalam bentuk huruf seperti firman Allah اَفَلَمْ يَيْأَسِ dibaca اَفَلَمْ يَأْيَسِ atau dalam bentuk kalimat seperti firman Allah:, وَيَقْتُلُوْنَ dalam bentuk aktif dan وَيُقْتَلُوْنَ  dibaca dalam bentuk pasif, atau sebaliknya. Contoh lain firman Allah:
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (Qaaf: 19)
Dibaca وَجَاءَتْ سَكَرَتُ الْحَقِّ بِالْمَوْتِ
e.    Perbedaan dari segi i’rab (harakat akhir kata)
Contoh firman Allah:
“Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia." (Q.S. Yusuf: 31)
Ibnu Mas’ud membacanya dengan rafa’ مَا هَذَا بَشَرٌ , firman Allah SWT:
“Yang mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia”. (Q.S. Al-Buruj: 15)
Dengan merafa’kan lafal اَلْمَجِيْدُ sebagai sifat lafal ذُوْ dan mengkasrahkan اَلْمَجِيْدِ karena menjadi sifat lafal اَلْعَرْشِ
f.     Perbedaan dari segi penambahan dan pengurangan.
Seperti firman Allah:
“Dan penciptaan laki-laki dan perempuan”. (Q.S. Al-Lail: 3)
Dibaca وَالذَّكَرَ وَالاُنْثَى dengan membuang lafal مَا خَلَقَ
g.    Perbedaan lahjah tentang tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), imalah, izhar (jelas), dan idhgam (dengung). Perbedaan semacam ini banyak sekali, di antaranya imalah dan tidak imalah, seperti firman Allah:
“Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa”. (An-Nazi’at: 15)
Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Ar-Razi dan didukung oleh Ibnu Qutaibah, Ibnu Jazari, dan Ibnu Thayib yang dinukil oleh Al-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan yang diperkuatnya dengan beberapa dalil.
Tarjih (Penganalisisan)
Pendapat yang hampir mendekati kebenaran adalah pendapat yang terakhir yang dipilih oleh Imam Ar-Razi dan dipegang oleh Imam Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan. Ia memperkuatnya dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.    Pendapat ini didukung oleh hadits-hadits sebagaimana tersebut di atas.
2.    Pendapat ini berpegang pada teori penyelidikan yang mendetail terhadap perbedaan qiraat dan sumbernya, yaitu tentang huruf yang tujuh.
3.    Tidak ada bantahan terhadap pendapat ini.
Pendapat-pendapat tentang “ahruf sab’ah” secara lengkap dapat anda peroleh dari kitab Manahilul Irfan karangan Az-Zarqani. Di sana dikemukakan kelemahan-kelemahan pendapat lain serta bantahan-bantahannya dari halaman 165 sampai 177.
Di bawah ini, kami mengutip ringkasan pendapat Abi Fadal Ar-Razi dalam kitabnya Al-Lawaih. Beliau berkata, “Bacaan Al-Qur’an dalam perselisihannya tidak atau keluar dari tujuh huruf”.
Pertama           : Perbedaan dalam isim berupa tunggal (ifrad), tatsniyah, dan jamak baik mudzakkar maupun mu’annats.
Kedua             : Perbedaan dalam tasrif fi’il baik dalam bentuk madhi, mudhari’, maupun amar.
Ketiga             : Perbedaan dari segi i’rab.
Keempat          : Perbedaan dari segi pengurangan dan penambahan.
Kelima             : Perbedaan dari segi takdim dan ta’khir.
Keenam           : Perbedaan dari segi ibdal.
Ketujuh           : Perbedaan dialek (lahjah), imalah, tarqiq, dan tafkhim, izhar, dan idhgam, dan lain-lain.
D.  Apakah Hingga Kini Tujuh Huruf Itu Masih Terdapat dalam Mushaf-mushaf?
1.    Sebagian ulama fiqh, qurra’ (ahli baca), dan mutakallimin (ahli teologi) berpendapat bahwa semua huruf tersebut terdapat pada Mushaf Usmani, dengan alasan:
a.    Tidak diperkenankannya bagi suatu bangsa untuk mengabaikan kutipan sesuatu dari Mushaf Usmani.
b.    Para sahabat berpendapat bahwa suhu yang dinukil dan ditulis oleh Usman itu berasal dari suhu yang ditulis oleh Abu Bakar r.a.
c.    Suhuf yang berada pada masa Abu Bakar telah mencakup tujuh huruf, yang kemudian ditulis kembali oleh Mushaf Usmani dalam tujuh huruf pula.
d.   Sabda Nabi, “Bahwasanya umatku tidak akan mampu melakukan hal itu”. Tidaklah dimaksudkan hanya pada masa sahabat saja, sedangkan kekekalan dimudahkannya pembacaan Al-Qur’an seiring dengan kekekalan kemukjizatannya.
2.    Jumhur ulama dari kalangan salaf, khalaf, dan Imam-imam muslimin berpendapat bahwa Mushaf Usmani mencakup huruf-huruf yang tujuh yang terkandung dalam bentuk tulisannya saja, serta penawaran Nabi yang terakhir kepada Malaikat Jibril.
3.    Ibnu Jarir At-Tabari dan para ulama yang sealiran dan sependapat dengannya mengatakan bahwa Mushaf Usmani itu hanya melambangkan satu bentuk huruf dari ke tujuh huruf tersebut. Huruf yang tujuh itu hanya terdapat pada masa Rasul, Abu Bakar, dan Umar. Adapun pada masa Usman, maka umat yang berada di bawah pimpinannya mencakup satu huruf saja untuk mempersatukan kaum muslimin. Dengan huruf yang satu itu, Usman menulis semua mushafnya.
Az-Zarqani dalam Manahilul Irfan halaman 662 mengatakan, “Bila kita kembalikan tujuh huruf ini kepada Mushaf Usmani dalam bacaan yang ditulisnya menurut apa adanya, kami menarik suatu kesimpulan yang tidak bisa dibantah dan sampai pada pemisah (mana yang tepat), yaitu bahwasanya Mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf, tetapi dengan arti bahwa masing-masing dari mushaf mengandung huruf yang sesuai dengan tulisan atau khat Usman, baik secara ,menyeluruh maupun sebagiannya. Mushaf-mushaf itu secara langsung tidak kurang dari satu huruf pun”.
Syekh Az-Zarqani menjelaskan adanya tujuh huruf berdasarkan pendapatnya yang selektif. Huruf-huruf itu tetap ada dalam Mushaf Usmani, namun kami mencukupkan hanya menyebutkan salah satu contoh saja, sedangkan bentuk huruf yang tujuh lainnya telah dimansukh pada waktu pagelaran yang terakhir. Contoh firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (Q.S. Al-Mu’minun: 8)
Dibaca dengan menjama’kan dan mengifradkan lafal اَلْاَمَانَةُ bacaan semacam ini tercakuplah dalam Mushaf karena Rasmul Usmani terdapat seperti لِاَمَنَتِهِمْ dengan tulisan mufrad, tetapi dengan mempergunakan alif berdiri untuk menunjukkan bacaan jama’, serta tidak diberi titik dan harakat.
Analisis tentang Pendapat Tabari
At-Tabari mengatakan bahwa huruf yang enam telah dinasakh (dihilangkan) pada masa Usman r.a. dan yang tinggal hanyalah satu huruf untuk menjaga kesatuan umat Islam dari perpecahan tatkala satu sama lain saling mengufurkan sebab adanya perbedaan dalam bacaan (qiraat). Maka tidak ada jalan lain yang diambil umat pada masa itu untuk menyelesaikan persoalan semacam ini, kecuali dengan menyeragamkan umat dalam satu bacaan.
Bantahan
1.    Para sahabat pada masa Rasul berbeda pendapat tentang bacaan, yang hampir saja menyebabkan terjadinya fitnah. Bagaimana cara Rasul dalam menyelesaikan persoalan ini?
Penyelesaian satu-satunya adalah menetapkan masing-masing kelompok yang berselisih untuk membaca menurut bacaan yang mereka terima, serta memberi pengertian kepada mereka bahwa keanekaragaman bacaan itu merupakan rahmat dari Allah dan memudahkan bagi mereka.
2.    Rasul bersabda dengan haditsnya, “Bahwasanya umatku tidak akan mampu untuk melaksanakan hal itu”, sedangkan umatnya masih akan ada sampai hari kiamat. Sebagaimana kita lihat sekarang bahwa ada sebagian umat Islam yang mengalami kesulitan dalam mengucapkan sebagian huruf dan tidak bisa menirukan suatu macam dialek, tetapi dengan mudah dapat mengucapkan dialek lainnya.
3.    Seandainya huruf-huruf bacaan yang enam telah dinasakh pada masa Usman r.a. niscaya tidak ada lagi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang perbedaan bacaan, tetapi pada kenyataannya kami masih melihat adanya perbedaan pendapat tentang bacaan yang jumlahnya lebih dari empat puluh pendapat.
Kesimpulan
Pada masa sekarang ini para ulama telah sepakat untuk berpedoman kepada bacaan yang benar dari mereka (tujuh qari’). Penurunan Al-Qur’an dengan tujuh huruf itu sebagai kelapangan dari Allah dan rahmat bagi umat-Nya. Karena itu, kalau masing-masing kelompok itu dipaksakan maka setiap kelompok tadi akan melupakan bahasanya dan berpaling dari kebiasaan yang mereka lakukan, baik berupa imalah, hamaz, itsmam, mad maupun yang lainnya karena menyulitkan bagi mereka.
Sayembara Ahmad Wahib 2012

2 komentar:

  1. bagus bagus.......
    kang hajat masih ingat umam pak muin?
    add facebook q ya.

    ahmed bukhotib syam ini nama facebook q.

    BalasHapus
  2. alhamdulillah taseh kimutan gus,, insya Allah akan saya add..

    BalasHapus

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail