KONSEP PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG
ILMU PENGETAHUAN
I. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu bidang yang patut dikembangkan. Hal ini terbukti dari Thales hingga sekarang, ilmu pengetahuan terus berkembang dan saling melengkapi pemikiran-pemikiran para ilmuwan. Dengan ilmu pengetahuan manusia telah mengubah diri mereka menjadi makhluk yang paling mulia di dunia ini. Dan dengan ilmu pengetahuan pula Tuhan yakin manusia dapat menjaga alam ini dengan baik, sehingga mereka mendapat julukan Khalifatullah fi al-ardh. Akan tetapi pada zaman sekarang ini ilmu pengetahuan telah disalahgunakan, banyak ilmuwan yang tidak memikirkan kemaslahatan alam ini. Kalau kita tinjau lebih dalam lagi ilmuwan pada zaman sekarang penelitiannya tidak langsung terjun ke lapangan akan tetapi lebih banyak dilakukan dalam ruangan ber-AC dengan fasilitas internet mereka menjelajahi dunia maya tanpa tahu dunia sesungguhnya. Sungguh ironis sekali kalau semua ilmuwan seperti ini aktivitas penelitiannya.
Kami merasa mungkin dengan mengkaji kehidupan para tokoh ilmuwan klasik akan dapat membantu semangat para ilmuwan sekarang untuk dapat melakukan penelitian yang sesungguhnya. Penelitian sesungguhnya di sini adalah penelitian yang langsung terjun ke lapangan. Ilmu pengetahuan telah berkembang dari masa ke masa dan telah melahirkan beberapa tokoh ilmuwan yang patut dikaji pemikirannya. Salah satu tokoh ilmuwan itu adalah al-Farabi, ilmuwan Islam yang telah banyak menyumbangkan pemikirannya untuk kemaslahatan alam ini. Dan kami di sini akan mencoba menguraikan konsep pemikiran beliau dalam hal ilmu pengetahuan.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Biografi Al-Farabi
B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
III. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi. Ayahnya adalah seorang jenderal yang memiliki posisi penting di Parsi. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farab yang juga disebut Kampung Utrar. Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan dalam daerah Turkestan, Rusia.
Abu Nashr al-Farabi lahir pada tahun 258 H/870 M dan wafat pada tahun 339 H/950 M. Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/19 M, telah dilakukan banyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karyanya.
Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjana muslim lainnya, al-Farabi tidak menuliskan riwayat hidupnya dan tak seorang pun di antara para pengikutnya merekam kehidupannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh al-Juzjani untuk gurunya, Ibnu Sina. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama bermula sejak lahir, masa kanak-kanaknya, masa remajanya sampai ia berusia lima puluh tahun. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadits dan tafsir al-Qur’an serta ia juga mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki, dan Parsi. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya samapi kemudian. Ketika ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan tanah kelahirannya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode kedua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan penuh kematangan. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika dan untuk beberapa lama ia belajar logika kepada Ibn Yunus. Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Aleppo. Di sana tempatnya orang-orang brilian, para sarjana, para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Al-Farabi tinggal di kota tersebut, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemercik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang. Al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang erat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhshyidiyyah memang mempunyai pesona. Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
Al-farabi senang terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen, dan menolak peramalan dan astrologi. Ia mempercayai sepenuhnya sebab - akibat dan takdir, sehingga ia mengakui adanya sebab-sebab, meskipun terhadap efek-efek yang tak jelas sebabnya. Ia mengangkat akal ke tingkat yang sedemikian suci, sehingga ia terdorong untuk mendamaikannya dengan tradisi sehingga tercapai kesesuaian antara filsafat dan agama.
B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.
C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.
Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota.
Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi.
2. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. Bagian-bagian logika setelah istilah-istilahnya didefinisikan ada lima:
a. Syarat-syarat yang perlu bagi premis-premis yang akan menuju suatu sylogisme untuk ilmu tertentu.
b. Definisi sylogisme yang berguna dan cara untuk menemukan bukti dialektal.
c. Penelitian kesalahan dalam bukti-bukti, penelitian atas hal-hal yang dilewatkan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam penalaran dan cara-cara untuk mencegahnya.
d. Definisi oratori: sylogisme yang digunakan untuk membawakan pembahasan di depan publik.
e. Studi mengenai puisi, bagaimana harus menyesuaikannya dengan tiap subyek, kesalahan dan ketidaksempurnaannya.
3. Sains persiapan:
a. Aritmetika: praktis teoritis
b. Geometri: praktis teoritis
c. Optika
d. Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit.
e. Musik: praktis teoritis
f. Ilmu tentang timbangan.
g. Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik).
4. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip-prinsip benda).
Fisika:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam.
b. Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi benda.
c. Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda.
d. Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan.
e. Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya.
f. Ilmu mineral.
g. Ilmu tumbuhan.
h. Ilmu hewan.
Metafisika:
a. Ilmu tentang hakikat benda.
b. Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan.
c. Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama-Nya ialah kebenaran(al-Haqq).
5. Ilmu kemasyarakatan:
a. Jurisprudensi
b. Retorik.
D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk berusaha menjadi ilmuwan dalam bidang tertentu sejauh yang dapat mereka capai dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi mereka menemukan sejarah tokoh-tokoh agama, salah satunya adalah al-Farabi yang telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”.
Wahyu pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca. Artinya pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah alim, yang berarti “Yang memiliki pengetahuan”. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam keberadaan mereka sendiri, seperti dikatakan oleh sebuah hadis, maka menjadi suatu keharusan bagi semua orang yang percaya akan Allah sebagai sumber segala sesuatu yang ada, untuk mencari dan menyerap dalam wujud mereka sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termasuk dengan sendirinya pengetahuan, sehingga wawasan tentang Yang Kudus menjadi darah daging kehidupan mereka. Sudah jelas, bahwa tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat kodratnya yang tak terbatas dan tak terhingga, tapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahi sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya sendiri. Dan pengetahuanlah yang membedakan manusia dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui pengetahuanlah kita dapat mencapai kebenaran.
IV. KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad al-Farabi merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang banyak dikenal di dunia Barat dengan sebutan al-Parabius atau guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Banyak pemikiran-pemikiran al-Farabi yang diambil dari Aristoteles, akan tetapi al-Farabi tidak hanya menerima begitu saja. Beliau dalam menelaah pemikiran Aristoteles selalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan Hadist. Seperti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa dunia ini kekal, tetapi menurut al-Farabi dunia ini tidak akan selamanya kekal. Karena al-Farabi masih mempercayai akan adanya hari kiamat, maka beliau berpendapat bahwa dunia ini tidak akan kekal selamanya. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Al-Farabi juga berpendapat bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu wajib hukumnya. Akan tetapi dalam perkembangannya kajian tentang ilmu pengetahuan dalam Islam semakin rendah, mereka lebih suka mengkaji ilmu fiqh dari pada ilmu pengetahuan. Pada hal semua ilmu pada hakikatnya itu sama kecuali ilmu-ilmu yang dilarang oleh Allah untuk dipelajari.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, kami percaya bahwa makalah ini masih jauh dari harapan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman. Sebagai bahan acuan untuk memperbaiki sistematika dari makalah ini baik dari segi penulisannya, isinya, dan referensinya. Dan kami berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, kh. Jamil, 1984, Hundred Great Muslim, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hoesin, Oemar Amin, 1975, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Madkour, Ibrahim, 1996, Para Filosof Muslim, terj. Ahmad Muslim dan Yustiono, Bandung: Mizan.
Muhammad Khallaf, Abdul Mun’im, 1992, Agama dalam Perspektif Rasional, terj. Ahmad Shodieq Noor Rohmat, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Munawwir, Imam, 1985, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Nasr, Seyyed Hossein, 1986, Science and Civilization in Islam, terj. J. Mahyudin, Bandung: PUSTAKA.
Qadir, C.A., 1989, Philosophy and Science in the Islamic, terj. Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sharif, MM., 1979, Muslim Thought Its Origin and Achievement, terj. Prof. Dr. Fuad Moh. Fachruddin, Bandung: CV. Diponegoro.
Sou’yb, Yoesoef, 1984, Pemikiran Islam Merobah Dunia, Bandung: Firma Maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar