Minggu, 21 Maret 2010

ushul fiqih

1. Bagaimana kedudukan dan kemandirian akal (ijtihad) dalam penetapan hukum Islam. Coba bandingkan dan simpulkan pendapat:
a. Prof. Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya Ushul Fiqh.
b. Prof. Abdul Wahhab Khallaf, dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh.
c. Dr. Saifudin Zuhri dalam bukunya Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
d. Najmuddin At-Tufi dalam kitabnya Syarah Arba’in an-Nawawi atau dapat dibaca dalam bukunya Dr. Saifudin Zuhri.
Dalam mengemukakan pendapat mereka, sebutkan halamannya!
Jawab:
Kalau kita bandingkan antara penadapat Prof. Muhammad Abu Zahroh, pendapat Najmudin At-Tufi, pendapat Prof. Abdul Wahhab Khallaf dan pendapat Dr. Saefudin Zuhri itu memiliki kesamaan pada kedudukan dan kemandirian akal (ijtihad) dalam penetapan hukum Islam. Hanya saja Prof. Muhammad Abu Zahroh berpendapat bahwa akal sangat berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang diberikan oleh Allah swt. Sementara itu jika ditemukan kasus baru dicarikan dulu hukum-hukum Allah pada setiap kasus baru tersebut. Jika tidak ada nash yang jelas (sharih) maka pada saat itulah akal dapat difungsikan untuk menggali nash-nash syara’, dan untuk menjelaskan kaidah-kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum terhadap kasus-kasus baru yang dijumpai. (Muhammad Abu Zahroh terj.: 94). Sedangkan Najmudin At-Tufi lebih melandaskan konstelasi maslahah pada superioritas akal. Beliau juga berpendapat bahwa posisi antara akal dan wahyu itu sejajar atau bahkan di atas nas dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian fungsi dan peran akal dapat digunakan dalam hal-hal yang tidak ada nasnya sama sekali. Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nas tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti (Saifudin Zuhri : 154-155).
Sedangkan pendapat Prof. Abdul Wahhab Khallaf bahwa seorang mujtahid itu harus memiliki keahlian dan kecakapan dalam mendayagunakan akalnya, di mana dengan itu seorang mujtahid dapat memahami nash dan menghasilkan hukum syara’ daripadanya, serta dapat menemukan hukum yang tidak ada nashnya (Abdul Wahhab Khallaf terj.: 354). Kemudian Dr. Saifudin Zuhri mengemukakan pendapat bahwa untuk memahami hukum yang tersirat dan yang tersuruk (tersembunyi) di balik lafaz al-Qur’an peranan ra’yu atau ijtihad itu sangat diperlukan (Saefudin Zuhri : 61).

2. Apa pengertian dan simpulkan perbedaan kajiannya antara:
a. Syari’ah
b. Fiqih
c. Qaidah Lughawiyyah
d. Qaidah Syar’iyyah
e. Usul Fiqh
f. Qaidah Fiqh
g. Qaidah Ushul Fiqh
Jawab:
a. Syari’ah menurut istilah terdapat beberapa pengertian diantaranya menurut At-Tahami dalam kitabnya “Kasysyaf Istilahatal Funun”, ialah: sesuatu (hukum-hukum) yang diadakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw, baik hukum-hukum yang berhubungan dengan cara berbuat (hukum-hukum cabang) dan untuk itu dikodifikasikan ilmu fiqh ataupun yang berhubungan dengan cara kepercayaan atau beriman (hukum-hukum pokok dan keimanan) dan untuk itu dikodifikasikan ilmu kalam Syari’ah (syara’)
b. Fiqih menurut istilah adalah pengetahuan (mengetahui) hukum-hukum syara’, tentang perbuatan beserta dalil-dalinya.
Perbedaan kajian antara syari’ah dengan fiqh adalah sebagai berikut:
1. syari’ah berkedudukan paling tinggi karena datangnya dari Allah, sedang fiqih sebagai ilmu adalah kajian manusia.
2. Keberadaan syari’ah adalah mutlak, sedang fiqh kebenarannya bersifat nisbi (tidak mutlak).
3. Ilmu fiqh akan terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Perkembangan itu akan selalu terjadi karena dalam masyarakat akan selalu terjadi perubahan. Oleh karena itu syari’ah turut berkembang dengan perkembangan fiqh karena fiqh merupakan bagian syari’ah.
4. Fiqih tidak terlepas dari syari’ah karena fiqih didasarkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengannya. Dengan sendirinya syari’ah dalam pengertiannya yang sempit (khusus) adalah sama dengan fiqh. (Saefudin Zuhri: 9-22)
c. Qaidah lughawiyyah adalah qaidah yang dijadikan pedoman dalam memahami nash (Abdul Wahhab Khallaf terj. : 10)
d. Qaidah syar’iyyah adalah qaidah yang dijadikan pedoman dalam memahami hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya (Saefudin Zuhri : 16).
Perbedaan kajian antara qaidah lughawiyyah dengan qaidah Syar’iyyah adalah sebagai berikut:
Seperti yang dijelaskan di atas tadi maka dapat saya simpulkan bahwa kajian qaidah lughawiyyah mempelajari tentang tulis menulis sehingga di dalam bahasa Arab terjadi beberapa mufrodat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa). Fungsi dari penyusunan qaidah lughawiyyah tersebut tidak jauh berbeda dengan diperlukannya menyusun kaidah nahwu, yang dengan itu seorang mujtahid dapat memahami maksud dari nash tersebut (Abdul Wahhab Khallaf terj. : 10). Sedangkan qaidah syar’iyyah lebih condong ke dalam konteksnya, yaitu untuk memahami hukum-hukum yang diadakan Allah kepada hamba-Nya (Saefudin Zuhri : 16).
e. Usul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ (jamak dari faqih) agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistinbathkan (menggali) hukum (Muhammad Abu Zahrah terj. : 5).
f. Qaidah fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’yang serupa (sejenis) lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqh yang merangkaikan kaidah tersebut (Muhammad Abu Zahroh terj. : 7).
g. Qaidah usul fiqh adalah kaidah atau metode yang dipergunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’, agar tidak terjadi kesalahan. (Muhammad Abu Zahroh terj. : 7)
Perbedaan anatara kajian usul fiqh dengan qaidah usul fiqh itu hampir sama akan tetapi berbeda dengan kajian qaidah fiqh. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pembahasan qaidah fiqh adalah masalah-masalah fiqh, bukan usul fiqh yang didasarkan pada himpunan masalah-masalah fiqh yang mempunyai titik persamaan. Dengan demikian kita dapat menetapkan hubungan ketiga disiplin ilmu tersebut sebagai berikut: usul fiqh adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqh yang bermacam-macam dan dapat dihubungkan anatara yang satu dengan yang lain, maka ditetapkan suatu kaidah hukum yang menghimpun hukum-hukum tersebut yang disebut teori atau kaidah fiqh (Muhammad Abu Zaharah terj. : 8)

3. Coba bedakan pengertian antara maslahah sebagai tujuan hukum Islam dengan maslahah sebagai metode istinbath hukum? Berikan contohnya!
Jawab:
a. Maslahah sebagai tujuan hukum Islam adalah pembentukan hukum yang dimaksudkan untuk merealisir kemaslahatan ummat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Contohnya adalah seperti pemeliharaan hidup manusia, qishos bagi pembunuh secara sengaja dan pemeliharaan harta kekayaan mereka, dan dera pencuri baik laki-laki maupun perempuan (Abdul Wahhab Khallaf terj. : 124).
b. Maslahah sebagai metode istinbath hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum dan baginya tidak ada petunjuk syar’i yang menyatakan pengakuan atau penolakan. Contohnya adalah pengumpulan al-Qur’an dalam satu muskhaf, memerangi pembangkang zakat, pembuatan mata uang, pencatatan perkawinan dan lain sebagainya (Saefudin Zuhri : 84)

4. Coba bedakan qiyas sebagai analogi hukum dengan qiyas sebagai salah satu metode istinbath hukum? Berikan contohnya!
Jawab:
a. Qiyas sebagai analogi hukum adalah menyamakan (menganalogikan) sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Contohnya dalah dalam Q.S. Shaad ayat 28
             
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat?

b. Qiyas sebagai salah satu metode istinbath hukum adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Contohnya adalah membandingkan hukum pemakai narkoba dengan peminum khamar kalau kita kaji maka kita dapat membandingkan illatnya yaitu memabukkan. Dengan dasar hadist sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا ‏ ‏عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ ‏ ‏قَالَ حَدَّثَنَا ‏ ‏يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عُبَيْدِ اللَّهِ ‏ ‏قَالَ حَدَّثَنَا ‏ ‏عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏جَدِّهِ ‏ ‏عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ ‏‏.(رواه النسائى وابو داود)
“Sesuatu yang memabukkan, banyak atau sedikitnya pun haram.” (Riwayat Nasai dan Abu Daud)

2 komentar:

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail