Selasa, 11 Oktober 2011

Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Islam

Pendahuluan
Perkembangan dan kebebasan media massa merupakan tolok ukur kemajuan dunia informasi. Kemajuan dunia informasi ini dapat disaksikan di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia, media cetak dan elektronik telah berkembang cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat. Namun, peningkatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidak berbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar. Salah satu yang ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang mencuat beberapa waktu lalu dan sekarang juga masih terjadi adalah bukti akan rendahnya kualitas kebanyakan media yang ada.
Terlepas dari perdebatan tentang definisi pornografi dan pornoaksi, bila media-media itu dicermati dari sudut pandang isi dan gambarnya, tidak ada asosiasi lain kecuali orientasi seksual. Gambar atau foto perempuan dengan pakaian minim (bahkan ada yang hanya ditutupi dengan daun pisang) serta narasi yang dituturkan secara vulgar jelas-jelas tidak dapat diasosiasikan lain selain seksual. Celakanya, media semacam ini secara bebas bisa diperoleh dengan mudah di kios-kios kecil pinggir jalan maupun di perempatan lampu lalu lintas. Siapa pun bisa mengakses tanpa melihat batas usia, tentu dengan harga yang sangat murah.
Lahan subur bagi berkembangnya pornografi dan pornoaksi yang sangat meresahkan adalah juga melalui VCD. Jutaan keping VCD porno yang beredar di masyarakat, siap untuk ditonton oleh siapa pun dan di mana pun. Dengan hanya bermodal beberapa lembar uang ribuan, orang yang tingkat ekonominya rendah sekalipun dapat menikmati tayangan yang sarat dengan unsur seksual vulgar tersebut. Tayangan TV pun tidak ketinggalan mulai berani turut ambil bagian dalam menayangkan eksploitasi seksual. Demikian juga dengan sejumlah video klip baik dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri hampir dapat dikatakan selalu menonjolkan unsur seksual. Kasus Inul misalnya, semakin menambah panjang daftar pornografi dan pornoaksi. Iklan dan film pun tidak jauh berbeda. Bahkan perkembangan yang terakhir, pornografi dan pornoaksi sudah merambah pada telepon genggam (HP).
Pornografi dan pornoaksi yang tampil dalam dunia “abstrak” di tabloid, VCD, TV, internet, dan HP ternyata menemukan bentuk “konkret” nya di tengah masyarakat. Hadirnya sejumlah tempat hiburan yang membuka pintu lebar-lebar bagi eksploitasi seksual cukup untuk dikatakan “gayung bersambut”. Tempat-tempat semacam itu seakan menjadi media penyaluran yang pas dari apa yang telah mereka lihat di tabloid, TV, VCD, internet, maupun HP. Adanya transaksi seks di sejumlah cafe dan diskotik bukan menjadi rahasia lagi. Kalau dulu, kehidupan seks bebas dilakukan untuk tujuan mencari uang, tetapi sekarang sudah merambah ke arah sekedar “just have a fun”.
Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terus menerus dengan suguhan atau menu yang tidak mengindahkan batas-batas nilai kesopanan dan kesusilaan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada suatu titik di mana pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasa melihat dan membaca, lama kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apa pun tanpa adanya kontrol masyarakat.
Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada terbentuknya budaya permisif. Nilai-nilai yang mendasari perilaku masyarakat sebagai tatanan yang seharusnya dijaga menjadi terpinggirkan, atau bahkan terkikis habis. Masyarakat menjadi sangat permisif terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi, karena batasan nilai telah memudar. Akar budaya yang menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi tercabut. Tidak ada lagi kata tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak lagi dipahami sebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga perkawinan. Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Tidak mengherankan jika kemudian angka kelahiran di luar pernikahan saat ini semakin meningkat. Bahkan yang lebih memprihatinkan, praktek aborsi ilegal terjadi di mana-mana dan sering dijadikan sebagai penyelesaian akhir, meskipun disadari atau tidak berisiko tinggi, yaitu kematian.
Dampak pornografi dan pornoaksi ibarat virus yang menebarkan kanker di tubuh. Pornografi selain hanya akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring pada perubahan tata nilai. Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parah lagi, perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreativitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan.

Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
Perdebatan tentang pro kontra pornografi memang bukan hal baru. Reaksi masyarakat terhadap pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi yang sedang dikaji DPR RI (waktu itu) cukup mencerminkan kondisi masyarakat dalam menyikapi pornografi. Salah satu masalah krusial yang tak kunjung usai diperdebatkan adalah masalah batasan pornografi itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat secara jernih arti istilah ini.
Istilah pornografi bila dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2) bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks. Esther D. Reed sebagaimana yang dikutip oleh Supartingsih berpendapat bahwa pornografi secara material menyatukan seks atau eksposur yang berhubungan dengan kelamin sehingga dapat menurunkan martabat atau harga diri. Menurut Owen Ogien sebagaimana yang dikutip oleh Haryatmoko, pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik.
Beberapa istilah yang sering kali dikaitkan dengan pornografi diantaranya adalah pornokitcsh yang bermakna selera rendah; obscenity yang bermakna kecabulan, keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesusilaan dan kesopanan. Bila hal-hal yang terkandung maknanya dalam pornografi ini diwujudkan melalui tindakan maka itulah yang disebut dengan pornoaksi. FX. Rudi Gunawan mengidentikkan pornoaksi dengan sexual behaviour atau perilaku seksual yang mencakup cara berpakaian seronok, gerak-gerik dan ekspresi wajah yang menggoda, suara yang mendesah dan majalah porno yang menampilkan gambar nude.
Dalam kenyataannya, pornografi muncul dalam berbagai perwujudan, antara lain dalam film, musik maupun tabloid/majalah/koran/buku. Pertama, film, pengertian porno dalam hal ini adalah (a) adegan atau kesan pria atau wanita telanjang, eksposure organ vital, ciuman, adegan, gerakan, suara persenggamaan atau kesan persenggamaan; (b) perilaku seksual yang tampil secara fisikal, kesan dan verbal, sentuhan, prostitusi, kontak seksual agresif dan seterusnya; (c) kesan-kesan seksual yang ditampilkan secara tidak langsung, misal lewat asosiasi, ilusi, sindiran atau kata-kata atau simbol-simbol, termasuk juga penampilan wacana seksual yang jelas walau tak diadegankan secara langsung. Kedua, musik, pengertian porno dalam hal ini adalah syair atau bunyi yang mengantarkan atau mengesankan aktivitas dan organ seksual serta bagian-bagian tubuh tertentu secara porno, baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, tabloid/majalah/koran/buku, pengertian porno adalah (a) gambar atau kata-kata yang mengeksplesitasi seks, syahwat atau penyimpangan seksual serta gambar-gambar telanjang atau setengah telanjang sehingga perhatian pembaca langsung tertuju pada bagian-bagian tertentu yang bisa mengakibatkan rangsangan seksual; (b) gambar atau kata-kata yang bersifat erotis maupun yang memberikan kemungkinan berdampak erotis.
Secara kasar, pornografi merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia, dibuat dengan satu tujuan yaitu untuk fantasi. Tjipta Lesmana merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain: (1) Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak; (2) Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok; (3) Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat dan membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tidak pantas disiapkan secara umum.
Pornografi dan Pornoaksi dalam Pandangan Beberapa Peneliti
Tolok ukur peradaban suatu masyarakat tercermin dari penjagaan nilai-nilai moral dalam setiap aspek hidupnya. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebaikan memberi peluang yang sangat besar bagi hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut. Pada dasarnya susunan sosial adalah susunan moral. Masyarakat disusun menurut peraturan moral. Kegiatan akal budi yang mengarahkan manusia pada pemahaman tentang tata cara dan perjalanan kehidupan sosial, sifat dunia sosial, interaksi sosial antara sesama manusia, tidak dapat dikatakan lain kecuali nilai moral itu sendiri.
Salah satu masalah yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan nilai-nilai sosial, khususnya nilai moral adalah makin maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk kejahatan sosial berupa perbuatan yang diasosiasikan sebagai eksploitasi seksual rendahan. Seksualitas pada dirinya sendiri memang mampu mengungkapkan banyak hal tentang manusia. Kebermaknaannya meliputi banyak dimensi yakni dimensi biologis-fisik, behavioral, klinis, psiko-sosial, sosio-kultural, dan yang tak kalah penting adalah dimensi religius. Akan tetapi jika keseluruhan dan kesakralan maknanya direduksikan pada nilai komersial, tentu ia menjadi masalah besar. Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkan seseorang berkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyangkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan.
Pornografi dan pornoaksi memang sudah lama diperdebatkan, diprotes, dan bahkan ditentang banyak kalangan. Ironisnya, penyelesaian terhadap masalah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Penyelesaian umum terhambat karena terjebak pada perdebatan tentang definisi “pornografi”. Masing-masing pihak memiliki penafsiran yang berbeda yang dapat ditarik ulur sesuai kepentingan si penafsir. Perangkat hukum pun belum memiliki konsep yang jelas tentang masalah ini, akibatnya kasus-kasus pornografi pun lewat demikian saja. KUHP Indonesia mencantumkan batasan yang sangat tidak jelas berkaitan dengan pornografi. Pasal 282 ayat 1 misalnya, tertulis: barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan menempelkan di depan umum, tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Pasal lain yang juga tidak banyak memberi penjelasan adalah pasal 533 ayat 1, di dalamnya tertulis: barang siapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Kata-kata “melanggar kesusilaan” dan “mampu membangkitkan nafsu birahi remaja” pengertiannya sering kali ditarik ulur. Karena itu, pasal-pasal ini sering dianggap sebagai pasal karet, artinya memiliki banyak penafsiran. Di saat perdebatan tentang definisi masih berlangsung, bersamaan dengan itu dampak pornografi terus menggoyang sendi-sendi kehidupan.
Secara umum ada dua hal yang dapat dilihat sebagai penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi, yaitu budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinya sebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosok perempuan yang stereotipikal. Disebut stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangka dan subyektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugikan yang diberi label. Opini yang dirugikan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai “makhluk fungsional bagi laki-laki”, lebih khusus lagi untuk “kegunaan seksual”. Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasan komersialisasi. Kekuatan feminim yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme. Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya. Dunia perfilman bahkan secara gamblang memanfaatkan seks untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya, demikian pula gambar iklan, lukisan, lirik lagu beserta penampilan artis-artisnya, novel serta produk-produk di berbagai bidang lainnya.
Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi: kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat.

Kontroversi Seputar Pornografi
Persoalan pornografi memang menimbulkan banyak kontroversi dalam masyarakat. Yasraf Amir Piliang mengidentifikasi kontroversi ini ke dalam dua bagian yaitu kontroversi semiotis dan sosiologis. Pertama, kontroversi semiotis ini terjadi di seputar makna pornografi, batas porno atau tidak porno, batas pornografi dan sensualitas, batas makna estetik dan non estetik. Apa yang dikatakan oleh masyarakat sebagai porno dan amoral, oleh foto model, pengarang atau pun pemilik media dianggap hanya sebagai sebuah bentuk estetik dan seni sensualitas belaka. Kedua, kontroversi sosiologis, dalam hal ini gambar atau tulisan yang disuguhkan sebagai komoditas untuk masyarakat luas tidak dapat dilihat sebagai fenomena estetik atau semiotik belaka. Lebih dari itu, bersangkut paut dengan persoalan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang lebih luas, khususnya kebudayaan massa (mass culture). Tepatnya gambar atau tulisan itu merupakan bagian integral sebuah kontruksi sosial budaya massa dengan segala muatan ideologis di dalamnya.

Pandangan Islam Terhadap Pornografi dan Pornoaksi
Dalam perspektif Islam, pembicaraan tentang pornografi tidak bisa dipisahkan dengan pembicaraan tentang aurat, tabarruj (berpenampilan seronok), dan pakaian. Unsur yang terpenting dalam konsep pornografi adalah melanggar kesusilaan dan membangkitkan nafsu seks. Sedangkan dalam terminologi Islam persoalan tersebut erat kaitannya dengan persoalan aurat dan pakaian. Karena yang disebut aurat dalam Islam adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh diperlihatkan atau harus ditutup karena dapat menimbulkan rasa malu (Q.S. an Nur [24]: 58), dan membangkitkan nafsu seks orang yang melihatnya (Q.S. al Ahzab [33]: 59). Sementara itu pakaian merupakan alat yang dipergunakan untuk menutup aurat yang dimaksud. Sedangkan tabarruj menggambarkan seseorang dalam berpakaian yang cenderung seronok atau mencirikan penampilan orang yang tidak terhormat. Penampilan yang dimaksud merupakan gabungan dari pemahaman seseorang tentang batasan aurat dan cara berpakaian.
Ada beberapa ayat dan hadits yang berbicara tentang aurat, tabarruj, dan pakaian. Ayat-ayat tersebut antara lain:
Pertama, ayat tentang aurat, sebagaimana terdapat dalam surat an Nur [24]: 31 dan 58.
Kedua, ayat-ayat tentang tabarruj sebagaimana tersebut dalam surat al Ahzab [33]: 33 dan an Nur [24]: 60.
Ketiga, ayat tentang pakaian sebagaimana tersebut dalam surat al Ahzab [33]: 59.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail