A. Pengumpulan
Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhmmad SAW
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad SAW terbagi atas dua
kategori:
1. Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal,
menghayati, dan mengamalkan.
Al-Qur’anul karim turun kepada Nabi Muhammad SAW yang ummi (tidak
bisa baca tulis). Karena itu, perhatian Nabi Muhammad SAW hanyalah untuk
sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis
sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu, ia membacakannya
kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghafal dan
memantapkannya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Jumu’ah: 2.
uqèd Ï%©!$# y]yèt/
Îû
z`¿ÍhÏiBW{$#
Zwqßu
öNåk÷]ÏiB
(#qè=÷Ft
öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur
ãNßgßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$#
spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x.
`ÏB
ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata,
Biasanya orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan
ingatannya. Pada masa diturunkannya Al-Qur’an, bangsa Arab berada dalam
martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat
dalam hafalannya serta daya pikirannya begitu terbuka. Mereka bahkan banyak yang
hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya).
Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang
sekali di antara mereka yang tak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab
tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyar” yang begitu banyak syairnya
lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Ketika Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan
keluhuran kandungan isinya, mereka merasa kagum. Akal pikiran mereka terkuasai
oleh Al-Qur’an, sehingga seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an.
Mereka menghafal ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan
syair-syair karena merasa memperoleh roh atau jiwa dari Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW memiliki keinginannya yang melambung tinggi untuk
menguasai Al-Qur’an, sehingga beliau menghiasi shalat malamnya dengan membaca
ayuat-ayat Al-Qur’an. Beliau ingin mewujudkan pengabdian dan penghayatan serta
pendalaman terhadap makna Al-Qur’an, sehingga kedua telapak kakinya menjadi
bengkak karena terlalu lama berdiri. Selain itu juga, sebagai realisasi dalam
melaksanakan perintah Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung, sebagaimana firman
Allah SWT dalam Q.S. Al-Muzammil: 1-4.
$pkr'¯»t
ã@ÏiB¨ßJø9$#
ÇÊÈ ÉOè%
@ø©9$# wÎ)
WxÎ=s%
ÇËÈ ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr&
óÈà)R$#
çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ ÷rr&
÷Î Ïmøn=tã
È@Ïo?uur
tb#uäöà)ø9$#
¸xÏ?ös?
ÇÍÈ
1. Hai orang yang berselimut
(Muhammad),
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit
(daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan
perlahan-lahan.
[1525] Sembahyang malam ini mula-mula wajib, sebelum turun ayat ke 20 dalam
surat ini. setelah turunnya ayat ke 20 ini hukumnya menjadi sunat.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila Rasul menjadi orang yang paling
menguasai Al-Qur’an. Ia bisa mengabdikan (menghimpun) Al-Qur’an dalam hatinya
yang mulia. Ia menjadi tumpuan bagi orang-orang Islam dalam memecahkan masalah
yang mereka perlukan sehubungan dengan masalah Al-Qur’an.
Para sahabat berlomba-lomba dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Mereka
mencurahkan segala kemampuannya untuk menguasai dan menghafalkan Al-Qur’an.
Mereka mengajarkan kepada keluarganya, istri, serta kepada anak-anaknya di
rumah masing-masing sehingga apabila ada orang yang melewati rumah mereka di
waktu malam yang gelap gulita niscaya akan terdengar alunan Al-Qur’an bagaikan
gema suara kumbang.
Pada suatu hari Nabi pernah lewat di samping rumah sahabat dari kaum Anshar.
Beliau berhenti dari suatu rumah ke rumah yang lain pada malam gelap gulita dan
beliau mendengarkan bacaan Al-Qur’an.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Musa Al-Asyari bahwasanya Rasul
SAW bersabda kepadanya, “Andaikata engkau melihat aku tadi malam ketika aku
mendengarkan bacaanmu, sungguh engkau telah menghiasi pendengaranku dengan
sebuah tiupan suara seruling pengikut Daud.” Imam Muslim menambahkan dalam
riwayat yang lain dari Rasulullah SAW bahwa ia bersabda, “Aku mengetahui
kelembutan alunan suara keturunan Asyari tentang bacaan Al-Qur’an pada malam
hari dan aku mengetahui rumah tinggal mereka di waktu malam sewaktu mereka
membaca Al-Qur’an padahal di siang hari aku belum mengetahui di mana rumah
mereka.” (H.R. Bukhari Muslim).
Banyak di antara para sahabat yang telah menghafal Al-Qur’an. Hal ini
karena Rasulullah SAW telah membakar semangat mereka untuk menghafal Al-Qur’an.
Nabi mengutus mereka yang ahli Al-Qur’an untuk memasuki seluruh pelosok kota
dan kampung untuk mengajarkan dan membacakan Al-Qur’an kepada penduduknya,
sebagaimana halnya ketika sebelum hijrah. Beliau mengutus Musa bin Umair dan
Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk mengajarkan Islam dan mengajarkan Al-Qur’an
dan mengutus Muadz bin Jabal ke Mekkah sesudah hijrah untuk menghafalkan dan
mengajarkan Al-Qur’an.
Ubadah bin Shamit mengatakan, “Apabila ada seorang yang hijrah (masuk
Islam), Nabi menyerahkan orang tersebut kepada seorang di antara kami untuk
mengajarinya. Pada saat itu di Masjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam
membaca Al-Qur’an sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar merendahkan
suara-suara mereka agar tidak saling mengganggu..”
Itulah sebabnya, penghafal-penghafal Al-Qur’an pada masa kehidupan Rasul
SAW tidak terhitung banyaknya. Kiranya cukup kita ketahui bahwa jumlah mereka
yang gugur dalam pertempuran Yamamah itu lebih dari 70 orang. Pada masa
Nabi dalam pertempuran di sumur Maunah jumlah mereka yang gugur juga
kira-kira 70 orang. Al-Qurtubi mengatakan, “Pada pertempuran Yamamah jumlah
Qura yang gugur adalah 70 orang dan pada pertempuran di sumur Maunah sejumlah
itu juga. Jadi, mereka yang mati syahid berjumlah 140 orang.
Ciri khas bagi umat Nabi Muhammad SAW adalah menghafalkan kitab suci
Al-Qur’an dalam hati mereka. Dalam menukilnya, mereka berpedoman pada hati dan
dada, tidak cukup hanya dengan berdasarkan tulisan, dalam bentuk lembaran atau
catatan. Berbeda halnya dengan ahli kitab, mereka tak seorang pun dari mereka
yang hafal akan Taurat dan Injil. Dalam mengabdikannya, mereka hanya berpedoman
dengan bentuk tulisan, mereka tidak membacanya dengan penuh seksama, kecuali
hanya sekilas pandang dan tidak dengan penuh penghayatan, karena itu masuklah
unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda halnya dengan
Al-Qur’an yang telah dipelihara oleh Allah SWT, karena Dia dengan memberikan
pertolongan kepada umat-Nya agar mendapatkan kemudahan dalam menghafalkannya.
Firman Allah dalam Q.S. Al-Qamar: 17.
ôs)s9ur $tR÷£o tb#uäöà)ø9$# Ìø.Ïe%#Ï9
ö@ygsù `ÏB 9Ï.£B
ÇÊÐÈ
17. Dan Sesungguhnya telah Kami
mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?
Allah menjaganya dari perubahan dan penyelewengan dengan dua cara, yaitu
penjagaan dalam bentuk tulisan dan dalam bentuk hafalan dalam hati, sesuai
dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Hijr: 9.
$¯RÎ)
ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$#
$¯RÎ)ur
¼çms9
tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
9. Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[793].
[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran
selama-lamanya.
Tidak diragukan lagi, hal tersebut merupakan suatu pertolongan Allah khusus
untuk Al-Qur’an serta merupakan prioritas dan keistimewaan yang luar biasa
kepada umat Muhammad. Ia menurunkan suatu kitab yang tak hancur terendam air.
Seorang pujangga dalam syairnya menuliskan.
اللهُ أَكْبَرُ إِنَّ دِيْنَ مُحَمَّدٍ وَ كِتَابَهُ أَقْوَى وَ أَقْوَمُ
قِيْلاَ لاَ تُذْكِرُ الْكُتُبُ السَّوَالِفُ عِنْدَهُ طَلَعَ الصَّبَاحُ
فَأَطْفِئُ الْقَنْدِيْلاَ
Allahu Akbar, sungguh hebat agama Muhammad dan
kitabnya yang bernilai tinggi. Kitab-kitab yang tak lampau dari arti bila
dibanding kitabnya yang suci bagaikan sinar pagi kan memadamkan pelita.
2. Pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulis
pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’an adalah pengumpulan dan penulisannya
dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu.
Setiap turun ayat Al-Qur’an, beliau memerintahkan kepada mereka untuk
menulisnya dalam rangka memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian
beliau terhadap kitab Allah SWT, sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan
penghafalan dan memperkuat daya ingat.
Para penulis tersebut adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat
yang terbaik dan indah tulisannya, sehingga mereka benar-benar dapat mengemban
tugas yang mulia ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan
sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata,
“Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 orang yang kesemuanya dari
kaum Anshar, yaitu Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu
Zaid. Anas ditanya, “Siapakah Abu Zaid itu?” Ia menjawab, “Salah seorang
pamanku.”
Selain mereka yang terkenal sebagai sekretaris wahyu, masih banyak lagi
sahabat yang menulis Al-Qur’an, Banyak di antara mereka memiliki mushaf pribadi
yang ditulisnya sesuai dengan yang didengar atau hafalan yang diterima dari
Nabi SAW, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Ali, mushaf Aisyah, dan lain-lain.
Cara-cara Penulisan
Adapun cara-cara mereka menulis Al-Qur’an adalah menggunakan
pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit atau daun kayu, tulang binatang,
dan sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik kertas di kalangan orang Arab.
Pada saat itu pabrik kertas hanya terdapat di parsi dan Romawi. Itu pun masih
sangat kurang dan tidak disebarkan. Itulah sebabnya, orang-orang Arab
menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan dapat dipergunakan
untuk menulis. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Kami
menulis Al-Qur’an di hadapan Nabi pada kulit ternak.” Maksudnya adalah
mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi SAW dan pengumpulan Al-Qur’an
adalah taufiqi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang
kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril a.s. bila membawakan
sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad,
sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan ke sekian
surat anu...”. Demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat,
“Letakkanlah pada urutan ini”.
B. Pengumpulan
Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan
risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk
menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh
Abu Bakar Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi
malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, di antaranya memerangi
orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) yang ada di kalangan orang
Islam serta memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab.
Ketika terjadi peperangan yamamah, banyak kalangan sahabat yang
hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 orang huffaz
ternama. Melihat banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur, Umar merasa
prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan
sakit. Umar bermusyawarah dengannya supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena
khawatir akan lenyap dengan banyaknya huffaz yang gugur. Pada awalnya, Abu
Bakar merasa ragu, namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai
positifnya, ia menerima usul tersebut. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar
untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. Ia mengutus Zaid bin Tsabit dan
menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Mula-mula Zaid pun merasa ragu, kemudian ia pun dilapangkan Allah sebagaimana
halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam sahih-nya tentang kisah
pengumpulan Al-Qur’an ini. Karena pentingnya maka di sini kami menukilnya
sebagai berikut.
“Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Abu Bakar mengirimkan berita
kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, yang di antaranya adalah 70 orang
penghafal Al-Qur’an. Pada saat itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian
Abu Bakar mengatakan, “Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan,
“Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak merenggut nyawa
para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir gugurnya para penghafal Al-Qur’an akan
menghilangkan Al-Qur’an yang terkumpul di dada mereka. Aku berpendapat agar
Engkau memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Aku (Abu Bakar)
menjawab, “Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasul SAW?”. Umar menjawab, “Demi Allah, perbuatan tersebut
adalah baik”. Ia berulang kali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku
sebagaimana Ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan Umar.
Kemudian, Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang pemuda yang
tangkas, aku tidak meragukan kemampuanmu. Engkau adalah penulis wahyu dari
Rasulullah SAW. Oleh karena itu, telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah”. Zaid
menjawab, “Demi Allah, andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung,
tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan
kepadaku ini”. Aku mengatakan, “Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Abu Bakar menjawab, “Demi
Allah, hal ini adalah baik”. Dan ia mengulanginya berulang kali sampai aku
dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar
dan Umar. Selanjutnya, aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan
batu, pelepah kurma, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an sampai
akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah: 128-129 dari Abu Khuzaimah
Al-Anshari yang tidak terdapat pada yang lainnya (yaitu).
ôs)s9 öNà2uä!%y`
Ñ^qßu
ô`ÏiB
öNà6Å¡àÿRr&
îÍtã
Ïmøn=tã $tB óOGÏYtã
ëÈÌym
Nà6øn=tæ
úüÏZÏB÷sßJø9$$Î/
Ô$râäu
ÒOÏm§
ÇÊËÑÈ bÎ*sù (#öq©9uqs?
ö@à)sù _É<ó¡ym
ª!$# Iw
tm»s9Î)
wÎ) uqèd
(
Ïmøn=tã àMù=2uqs?
(
uqèdur >u
ĸöyèø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇÊËÒÈ
128. Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah
Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".
Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat.
Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai ia wafat dan kemudian disimpan di
rumah Hafsah binti Umar”. (Riwayat ini menyatakan tentang sebab pengumpulan
Al-Qur’an).
C. Beberapa
Pertanyaan Sekitar Pengumpulan Al-Qur’an
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab secara terperinci. Secara
ringkas kami simpulkan berikut ini.
Pertama.
Mengapa Abu Bakar merasa ragu dalam masalah pengumpulan Al-Qur’an, padahal
tujuannya sangat baik lagi pula diwajibkan oleh Islam?
Jawabannya adalah.
Abu Bakar khawatir apabila orang-orang Islam akan mempermudah dalam usaha
menghayati dan menghafal Al-Qur’an. Ia juga merasa khawatir bila mereka hanya
berpegang kepada apa yang ada pada mushaf sehingga jiwa mereka menjadi lemah
untuk menghafal Al-Qur’an. Dengan demikian, minat untuk menghafal dan
menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dalam
mushaf-mushaf yang dicetak untuk standar membacanya. Padahal sebelum ada
mushaf-mushaf, mereka mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an.
Dari segi yang lain, Abu Bakar Siddiq selalu berusaha agar tetap bertitik tolak
dari batasan-batasan syari’at dan berpegang pada jejak-jejak Rasul SAW,
sehingga ia merasa khawatir apabila idenya itu termasuk bid’ah yang tidak
dikehendaki oleh Rasul. Karena itulah, Abu Bakar mengatakan kepada Umar,
“Mengapa aku harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW?. Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya
untuk menyalahi sunnah Rasul SAW, serta membawa kepada bid’ah. Akan
tetapi, ketika ia menganggap bahwa hal tersebut adalah sangat penting demi
kelestarian kitab Al-Qur’an dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan,
dan ketika ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang
menyalahi ketentuan dan bid’ah yang sengaja dibuat-buat, maka ia
beri’tikad baik untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Akhirnya ia mengutus Zaid
mengenai masalah ini sehingga Allah melapangkan dada Zaid untuk melaksanakan
usaha yang sanagat penting ini.
Kedua.
Mengapa Abu Bakar lebih memilih Zaid bin Tsabit daripada sahabat lainnya?
Jawabannya adalah.
Zaid memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya dalam hal
mengumpulkan Al-Qur’an. Ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an dan merupakan
seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah. Ia menyaksikan sajian yang terakhir
dari Al-Qur’an, di kala penutupan masa hayat Rasul SAW. Di samping itu, ia
dikenal sebagai orang yang wara’ (berhati-hati), sangat besar tanggung
jawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya, dan taat dalam agamanya. Ia juga
dikenal sebagai seorang yang cerdas. Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan,
“Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Engkau
adalah penulis wahyu Rasul”.
Dengan beberapa sifat dan keistimewaan di atas, Abu Bakar Siddiq memilih
dan menunjuknya sebagai pengumpul Al-Qur’an. Adapun alasan yang menyatakan
bahwa Zaid bin Tsabit adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari
kata-katanya, “Demi Allah, andaikata aku ditugaskan untuk memindahkan sebuah
bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan
kepadaku ini”. (Al-Hadits)
Ketiga
Apakah yang dimaksud dengan kata-kata Zaid dalam riwayat Al-Bukhari “Sampai
aku menemukan akhir surat Taubah pada Abu Khuzaimah, sedangkan pada orang lain
tidak ada?”.
Jawabannya adalah:
Zaid r.a. tidak menemukan ayat tersebut tertulis pada mushaf sahabat-sahabat
selain dari Abu Khuzaimah Al-Anshari. Namun, bukan berarti bahwa ayat tersebut
tidak ada dalam hafalannya, karena Zaid sendiri hafal ayat tersebut dan
kebanyakan sahabat pun telah hafal ayat tersebut. Hanya saja ia hendak
mengompromikan antara hafalan dan tulisan, sebagaimana akan kami jelaskan
(insya Allah) sekedar untuk menambah argumentasi dan data di samping untuk
menjaga kehati-hatian. Dan karena langkah yang lurus tersebut maka sempurnalah
pengumpulan Al-Qur’an.
D. Langkah yang
Tepat dalam Pengumpulan Al-Qur’an
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah
yang tepat, teliti, dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang
pantas) dalam penulisan Al-Qur’an. Ia tidak menganggap cukup menurut yang
dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil
pendengarannya, tetapi ia bertitik tolak pada penyelidikan yang mendalam dari
dua sumber.
1. Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para
sahabat.
2. Sumber tulisan yang ditulis pada zaman
Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut, yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena
kesungguh-sungguhannya dan kehati-hatianya, ia tidak menerima tulisan sebelum
disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan
Rasul SAW.
Hal ini dikemukakan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam
kitab sunan-nya, ia berkata, “Umar datang seraya mengatakan, “Siapa yang
menerima Al-Qur’an dari Rasulullah SAW, hendaklah ia sampaikan”. Mereka
menulisnya dalam lembaran-lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Zaid
tidak mau menerimanya begitu saja sebelum disaksikan oleh dua orang saksi”.
Hadis ini didukung pula oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud
bahwa Abu Bakar mengatakan kepada Umar dan Zaid, “Duduklah kalian berdua di
pintu masjid, bila ada orang yang mendatangimu perihal Al-Qur’an dengan membawa
dua orang saksi, maka tulislah”.
Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan
dan tulisan, sedangkan As-Sakhawi mengatakan bahwa yang dimaksud dua orang
saksi adalah orang yang menyaksikan tulisan tersebut di hadapan Rasulullah SAW.
Karena itu, tampaklah usaha pemantapan, ketelitian, dan kesungguhan yang
digariskan oleh Abu Bakar Siddiq kepada Zaid bin Tsabit”.
E. Beberapa
Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Siddiq
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar
memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting.
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat
mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan
yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3. Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara
mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang
dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut menimbulkan kekaguman di hati para
sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam memelihara Al-Qur’an dari bahaya
kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufik serta hidayah dari Allah SWT.
Ali berkata, “Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar
r.a. Ia adalah orang yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an atau Kitabullah.
Pengumpulan Al-Qur’an adalah perbuatan yang mulia dan abadi. Sejarah
senantiasa akan mengenangnya dengan keindahan dan pujian yang harum terhadap
Abu Bakar karena pengarahan dan pengawasannya, dan kepada Zaid bin Tsabit
karena pelaksanaan dan usahanya.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk satu mushaf pada masa Abu Bakar bukan
berarti bahwa para sahabat sebelumnya tidak ada yang memiliki lembaran-lembaran
kertas yang bertuliskan Al-Qur’an. Kalangan sahabat juga memiliki mushaf
tertentu, hanya saja mushaf-mushaf yang ada pada mereka itu tidak diteliti
secara seksama sebagaimana halnya mushaf Abu Bakar yang benar-benar dilakukan
penelitian, dan hanya mencantumkan bacaan yang tidak dinaskah serta
kepopulerannya mencapai mutawatir (menurut semua orang). Semua orang sependapat
untuk menerimanya. Di samping itu, mushaf Abu Bakar juga mencakup bacaan
menurut qira’at sab’ah sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Ali secara pribadi memiliki mushaf khusus yang ditulisnya pada masa
permulaan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Ia telah bertekad untuk menulisnya
sehingga ia tidak keluar rumah, kecuali untuk melakukan shalat sampai ia
selesai menulisnya. Diriwayatkan oleh As-Suyuti dari Muhammad Ibnu Sirrin dari
Ikrimah bahwasanya ia berkata, “Pada saat pengangkatan Abu Bakar, Ali tetap berada
di rumahnya. Ketika disampaikan kepada Abu Bakar, bahwa Ali tidak menyenangi
baiatnya, maka Abu Bakar mengirim surat kepada Ali, “Apakah engkau tidak
menyukai pengangkatanku?” Ali menjawab, “Aku melihat bahwa kitab Allah telah
diselipi, jiwaku membisikkan kepadaku agar aku tidak memakai selendang atau
berpakaian, kecuali bila aku melakukan shalat sampai aku selesai
membukukannya”. Abu Bakar mengatakan kepadanya, “Benar yang telah engkau
lakukan”. Ali memiliki satu mushaf, tetapi sebagaimana yang dikemukakan Ibnu
Sirin di dalamnya masih terdapat nasikh dan mansukh, tidak seperti mushaf Abu
Bakar.
F. Mengapa
Al-Qur’an Tidak Dibukukan dalam Satu Mushaf (Pada Masa Nabi)?
Di sini kami bertanya, “Mengapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak
dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushaf?
Jawabnya adalah.
1. Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi
berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya
sebelum selesai keseluruhannya.
2. Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun
ayat yang menyatakan nasakh, bagaimana mungkin bisa dibukukan dalam satu buku.
3. Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan
urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu,
tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Hal ini tentunya menghendaki
perubahan susunan tulisan.
4. Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya
Rasulullah SAW adalah sangat pendek atau dekat. Sebagaimana pembahasan
terdahulu bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir adalah firman Allah SWT.
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ ....
Kemudian Rasul berpulang ke rahmatullah
setelah sembilan hari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian, masanya sangat
singkat dan tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum
sempurna turunnya wahyu.
5. Tidak ada motivasi yang mendorong untuk
mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf sebagaimana yang timbul pada masa
Abu Bakar. Orang-orang Islam pada masa itu berada dalam keadaan baik, ahli baca
(qurra’) begitu banyak, dan fitnah-fitnah yang terjadi dapat diatasi.
Berbeda pada masa Abu Bakar yang telah muncul berbagai gejala ke arah
perpecahan dan banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur, sehingga dikhawatirkan
Al-Qur’an akan lenyap.
Kesimpulan:
Kalau Al-Qur’an
sudah dibukukan dalam satu mushaf, sedangkan situasi yang terjadi adalah
sebagaimana yang kami sebutkan di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami
perubahan dan pergantian setiap kali terjadi nasakh (ralat) atau munculnya
sebab. Di samping itu, perlengkapan menulis pun tidak mudah didapat. Kondisi ini tidak akan
membantu untuk melepaskan mushaf yang lebih dahulu kemudian menggantinya dengan
mushaf yang baru, karena tidak mungkin dalam setiap bulannya ada satu mushaf yang
mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun, setelah masalahnya stabil,
yaitu dengan berakhirnya penurunan Al-Qur’an, wafatnya Rasul, tidak ada lagi
ralat, dan telah diketahuinya susunan ayat-ayat Al-Qur’an, maka dapat dilakukan
pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu
Bakar r.a. khalifah yang bijaksana, semoga Allah membalas jasanya atas
perbuatan beliau dalam mengumpulkan Al-Qur’an beserta orang-orang Islam yang
mengikuti jejaknya dengan balasan yang berlipat ganda.
G. Pengumpulan
Al-Qur’an Di Masa Usman
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Usman r.a. berbeda dengan
faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Usman
telah meluas dan orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota.
Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk
Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang
lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari. Di antara mereka terdapat perbedaan
tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu
pertikaian dan perpecahan antar sesama. Hampir satu sama lainnya saling
mengufurkan karena perbedaan pendapat dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah, “Pada masa pemerintahan Usman, seorang
pengajar qiraat menyampaikan kepada anak didiknya. Demikian pula halnya dengan
guru lainnya juga mengajarkan qiraat yang lain kepada anak didiknya. Ketika dua
kelompok murid tersebut bertemu dan mendapatkan perbedaan, mereka berselisih
dan perselisihan ini pun dilakukan oleh guru mereka sehingga satu sama lain
saling mengufurkan. Berita tersebut sampai kepada Usman. Maka Usman berpidato
dan seraya mengatakan, “kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi
orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih besar lagi
perbedaannya”.
Setelah kejadian tersebut, Usman dengan kebenaran pandangannya bermaksud
untuk melakukan tindakan pencegahan. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang
terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah
(perpecahan) dan perselisihan. Mereka sepakat untuk menyalin dan memperbanyak
mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota. Selanjutnya mushaf
yang telah ada dimusnahkan dan dibakar sehingga tidak ada lagi jalan yang
menyebabkan pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Usman melaksanakan keputusan yang sangat bijaksana itu. Ia menugaskan
kepada empat orang sahabat pilihan, yang hafalannya dapat diandalkan, yaitu
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman Ibnu
Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin, kecuali Zaid bin
Tsabit yang berasal dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini
dilakukan pada tahun kedua puluh empat hijriyah. Usman mengatakan kepada
mereka, “Bila anda sekalian menemui perselisihan pendapat tentang bacaan maka
tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Quraisy”. Usman meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar
dan memerintahkan keempat orang sahabat tersebut untuk menyalinnya dan
memperbanyaknya. Setelah selesai, ia mengembalikan mushaf abu Bakar kepada
Hafsah.
H. Motif Usman
Mengumpulkan Al-Qur’an
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibnu Malik bahwasanya ia berkata,
“Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu Al-Yaman datang kepada Usman. Ketika itu, penduduk
Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan daerah
Armenia dan Adzerbaijan. Hudzaifah menjadi tercengang ketika melihat perbedaan
kedua penduduk tersebut dalam bacaan Al-Qur’an. Hudzaifah berkata kepada Usman,
“Ya Amirul Mukminin selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlihat dalam
perselisihan dalam masalah kitab sebagaimana perselisihan di antara kaum Yahudi
dan Nasrani. Selanjutnya Usman mengirimkan surat kepada Hafsah yang isinya,
“Kirimkanlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an, kami
akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan
lagi kepada anda”. Kemudian Hafsah mengirimkan kepada Usman. Khalifah Usman
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan
Abdul Ar-Rahman Ibnu Al-Haris Ibnu Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa
mushaf. Usman berpesan kepada ketiga kaum Quraisy, “Bila kalian bertiga dan
Zaid bin Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Qur’an maka tulislah dengan
ucapan atau lisan Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy”.
Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushaf, Usman mengembalikan
lembaran mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang baru
tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran atau
mushaf yang lain dibakar”. (H.R. Al-Bukhari)
I. Perbedaan
Antara Mushaf Abu Bakar dan Mushaf Usman
Perbedaan antara pengumpulan mushaf Abu Bakar dan Usman adalah sebagai
berikut. Pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan
penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun,
berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma,
dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang
gugur. Sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Usman adalah menyalin kembali
mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan
ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca
Al-Qur’an.
Wallahu a’lam washalallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa alihi wasahbihi wa
sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar