Sabtu, 05 Mei 2012

PENGUMPULAN AL-QUR’AN


A.  Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhmmad SAW
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad SAW terbagi atas dua kategori:
1.    Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati, dan mengamalkan.
Al-Qur’anul karim turun kepada Nabi Muhammad SAW yang ummi (tidak bisa baca tulis). Karena itu, perhatian Nabi Muhammad SAW hanyalah untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu, ia membacakannya kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Jumu’ah: 2.
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  
2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Biasanya orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Pada masa diturunkannya Al-Qur’an, bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam hafalannya serta daya pikirannya begitu terbuka. Mereka bahkan banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali di antara mereka yang tak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyar” yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Ketika Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan keluhuran kandungan isinya, mereka merasa kagum. Akal pikiran mereka terkuasai oleh Al-Qur’an, sehingga seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafal ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh roh atau jiwa dari Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW memiliki keinginannya yang melambung tinggi untuk menguasai Al-Qur’an, sehingga beliau menghiasi shalat malamnya dengan membaca ayuat-ayat Al-Qur’an. Beliau ingin mewujudkan pengabdian dan penghayatan serta pendalaman terhadap makna Al-Qur’an, sehingga kedua telapak kakinya menjadi bengkak karena terlalu lama berdiri. Selain itu juga, sebagai realisasi dalam melaksanakan perintah Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Muzammil: 1-4.
$pkšr'¯»tƒ ã@ÏiB¨ßJø9$# ÇÊÈ   ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) WxÎ=s% ÇËÈ   ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ   ÷rr& ÷ŠÎ Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös? ÇÍÈ  
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari[1525], kecuali sedikit (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

[1525] Sembahyang malam ini mula-mula wajib, sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini. setelah turunnya ayat ke 20 ini hukumnya menjadi sunat.

Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila Rasul menjadi orang yang paling menguasai Al-Qur’an. Ia bisa mengabdikan (menghimpun) Al-Qur’an dalam hatinya yang mulia. Ia menjadi tumpuan bagi orang-orang Islam dalam memecahkan masalah yang mereka perlukan sehubungan dengan masalah Al-Qur’an.
Para sahabat berlomba-lomba dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Mereka mencurahkan segala kemampuannya untuk menguasai dan menghafalkan Al-Qur’an. Mereka mengajarkan kepada keluarganya, istri, serta kepada anak-anaknya di rumah masing-masing sehingga apabila ada orang yang melewati rumah mereka di waktu malam yang gelap gulita niscaya akan terdengar alunan Al-Qur’an bagaikan gema suara kumbang.
Pada suatu hari Nabi pernah lewat di samping rumah sahabat dari kaum Anshar. Beliau berhenti dari suatu rumah ke rumah yang lain pada malam gelap gulita dan beliau mendengarkan bacaan Al-Qur’an.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Musa Al-Asyari bahwasanya Rasul SAW bersabda kepadanya, “Andaikata engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengarkan bacaanmu, sungguh engkau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan suara seruling pengikut Daud.” Imam Muslim menambahkan dalam riwayat yang lain dari Rasulullah SAW bahwa ia bersabda, “Aku mengetahui kelembutan alunan suara keturunan Asyari tentang bacaan Al-Qur’an pada malam hari dan aku mengetahui rumah tinggal mereka di waktu malam sewaktu mereka membaca Al-Qur’an padahal di siang hari aku belum mengetahui di mana rumah mereka.” (H.R. Bukhari Muslim).
Banyak di antara para sahabat yang telah menghafal Al-Qur’an. Hal ini karena Rasulullah SAW telah membakar semangat mereka untuk menghafal Al-Qur’an. Nabi mengutus mereka yang ahli Al-Qur’an untuk memasuki seluruh pelosok kota dan kampung untuk mengajarkan dan membacakan Al-Qur’an kepada penduduknya, sebagaimana halnya ketika sebelum hijrah. Beliau mengutus Musa bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk mengajarkan Islam dan mengajarkan Al-Qur’an dan mengutus Muadz bin Jabal ke Mekkah sesudah hijrah untuk menghafalkan dan mengajarkan Al-Qur’an.
Ubadah bin Shamit mengatakan, “Apabila ada seorang yang hijrah (masuk Islam), Nabi menyerahkan orang tersebut kepada seorang di antara kami untuk mengajarinya. Pada saat itu di Masjid Nabawi sering terdengar kegaduhan dalam membaca Al-Qur’an sehingga Rasul memerintahkan kepada mereka agar merendahkan suara-suara mereka agar tidak saling mengganggu..”
Itulah sebabnya, penghafal-penghafal Al-Qur’an pada masa kehidupan Rasul SAW tidak terhitung banyaknya. Kiranya cukup kita ketahui bahwa jumlah mereka yang gugur dalam pertempuran Yamamah itu lebih dari 70 orang. Pada masa Nabi dalam pertempuran di sumur Maunah jumlah mereka yang gugur juga kira-kira 70 orang. Al-Qurtubi mengatakan, “Pada pertempuran Yamamah jumlah Qura yang gugur adalah 70 orang dan pada pertempuran di sumur Maunah sejumlah itu juga. Jadi, mereka yang mati syahid berjumlah 140 orang.
Ciri khas bagi umat Nabi Muhammad SAW adalah menghafalkan kitab suci Al-Qur’an dalam hati mereka. Dalam menukilnya, mereka berpedoman pada hati dan dada, tidak cukup hanya dengan berdasarkan tulisan, dalam bentuk lembaran atau catatan. Berbeda halnya dengan ahli kitab, mereka tak seorang pun dari mereka yang hafal akan Taurat dan Injil. Dalam mengabdikannya, mereka hanya berpedoman dengan bentuk tulisan, mereka tidak membacanya dengan penuh seksama, kecuali hanya sekilas pandang dan tidak dengan penuh penghayatan, karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda halnya dengan Al-Qur’an yang telah dipelihara oleh Allah SWT, karena Dia dengan memberikan pertolongan kepada umat-Nya agar mendapatkan kemudahan dalam menghafalkannya. Firman Allah dalam Q.S. Al-Qamar: 17.
ôs)s9ur $tR÷Žœ£o tb#uäöà)ø9$# ̍ø.Ïe%#Ï9 ö@ygsù `ÏB 9Ï.£B ÇÊÐÈ  
17. Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?

Allah menjaganya dari perubahan dan penyelewengan dengan dua cara, yaitu penjagaan dalam bentuk tulisan dan dalam bentuk hafalan dalam hati, sesuai dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Hijr: 9.
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[793].

[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

Tidak diragukan lagi, hal tersebut merupakan suatu pertolongan Allah khusus untuk Al-Qur’an serta merupakan prioritas dan keistimewaan yang luar biasa kepada umat Muhammad. Ia menurunkan suatu kitab yang tak hancur terendam air. Seorang pujangga dalam syairnya menuliskan.
اللهُ أَكْبَرُ إِنَّ دِيْنَ مُحَمَّدٍ وَ كِتَابَهُ أَقْوَى وَ أَقْوَمُ قِيْلاَ لاَ تُذْكِرُ الْكُتُبُ السَّوَالِفُ عِنْدَهُ طَلَعَ الصَّبَاحُ فَأَطْفِئُ الْقَنْدِيْلاَ
Allahu Akbar, sungguh hebat agama Muhammad dan kitabnya yang bernilai tinggi. Kitab-kitab yang tak lampau dari arti bila dibanding kitabnya yang suci bagaikan sinar pagi kan memadamkan pelita.

2.    Pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’an adalah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam rangka memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah SWT, sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan penghafalan dan memperkuat daya ingat.
Para penulis tersebut adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat yang terbaik dan indah tulisannya, sehingga mereka benar-benar dapat mengemban tugas yang mulia ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 orang yang kesemuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid. Anas ditanya, “Siapakah Abu Zaid itu?” Ia menjawab, “Salah seorang pamanku.”
Selain mereka yang terkenal sebagai sekretaris wahyu, masih banyak lagi sahabat yang menulis Al-Qur’an, Banyak di antara mereka memiliki mushaf pribadi yang ditulisnya sesuai dengan yang didengar atau hafalan yang diterima dari Nabi SAW, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Ali, mushaf Aisyah, dan lain-lain.

Cara-cara Penulisan
Adapun cara-cara mereka menulis Al-Qur’an adalah menggunakan pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit atau daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik kertas di kalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas hanya terdapat di parsi dan Romawi. Itu pun masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Itulah sebabnya, orang-orang Arab menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan dapat dipergunakan untuk menulis. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Kami menulis Al-Qur’an di hadapan Nabi pada kulit ternak.” Maksudnya adalah mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi SAW dan pengumpulan Al-Qur’an adalah taufiqi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril a.s. bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan ke sekian surat anu...”. Demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat, “Letakkanlah pada urutan ini”.

B.  Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, di antaranya memerangi orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) yang ada di kalangan orang Islam serta memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab.
Ketika terjadi peperangan yamamah, banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 orang huffaz ternama. Melihat banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar bermusyawarah dengannya supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena khawatir akan lenyap dengan banyaknya huffaz yang gugur. Pada awalnya, Abu Bakar merasa ragu, namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positifnya, ia menerima usul tersebut. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. Ia mengutus Zaid bin Tsabit dan menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Mula-mula Zaid pun merasa ragu, kemudian ia pun dilapangkan Allah sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam sahih-nya tentang kisah pengumpulan Al-Qur’an ini. Karena pentingnya maka di sini kami menukilnya sebagai berikut.
“Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, yang di antaranya adalah 70 orang penghafal Al-Qur’an. Pada saat itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan, “Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak merenggut nyawa para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir gugurnya para penghafal Al-Qur’an akan menghilangkan Al-Qur’an yang terkumpul di dada mereka. Aku berpendapat agar Engkau memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Aku (Abu Bakar) menjawab, “Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul SAW?”. Umar menjawab, “Demi Allah, perbuatan tersebut adalah baik”. Ia berulang kali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan Umar. Kemudian, Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuanmu. Engkau adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah”. Zaid menjawab, “Demi Allah, andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung, tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. Aku mengatakan, “Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, hal ini adalah baik”. Dan ia mengulanginya berulang kali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Selanjutnya, aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah kurma, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah: 128-129 dari Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak terdapat pada yang lainnya (yaitu).
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îƒÍtã Ïmøn=tã $tB óOšGÏYtã ëȃ̍ym Nà6øn=tæ šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ Ô$râäu ÒOŠÏm§ ÇÊËÑÈ   bÎ*sù (#öq©9uqs? ö@à)sù š_É<ó¡ym ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( Ïmøn=tã àMù=ž2uqs? ( uqèdur >u ĸöyèø9$# ÉOŠÏàyèø9$# ÇÊËÒÈ  
128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".

Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat. Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai ia wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar”. (Riwayat ini menyatakan tentang sebab pengumpulan Al-Qur’an).

C.  Beberapa Pertanyaan Sekitar Pengumpulan Al-Qur’an
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab secara terperinci. Secara ringkas kami simpulkan berikut ini.
Pertama.
Mengapa Abu Bakar merasa ragu dalam masalah pengumpulan Al-Qur’an, padahal tujuannya sangat baik lagi pula diwajibkan oleh Islam?
Jawabannya adalah.
Abu Bakar khawatir apabila orang-orang Islam akan mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafal Al-Qur’an. Ia juga merasa khawatir bila mereka hanya berpegang kepada apa yang ada pada mushaf sehingga jiwa mereka menjadi lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Dengan demikian, minat untuk menghafal dan menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dalam mushaf-mushaf yang dicetak untuk standar membacanya. Padahal sebelum ada mushaf-mushaf, mereka mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an. Dari segi yang lain, Abu Bakar Siddiq selalu berusaha agar tetap bertitik tolak dari batasan-batasan syari’at dan berpegang pada jejak-jejak Rasul SAW, sehingga ia merasa khawatir apabila idenya itu termasuk bid’ah yang tidak dikehendaki oleh Rasul. Karena itulah, Abu Bakar mengatakan kepada Umar, “Mengapa aku harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rasul SAW, serta membawa kepada bid’ah. Akan tetapi, ketika ia menganggap bahwa hal tersebut adalah sangat penting demi kelestarian kitab Al-Qur’an dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan, dan ketika ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang menyalahi ketentuan dan bid’ah yang sengaja dibuat-buat, maka ia beri’tikad baik untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Akhirnya ia mengutus Zaid mengenai masalah ini sehingga Allah melapangkan dada Zaid untuk melaksanakan usaha yang sanagat penting ini.
Kedua.
Mengapa Abu Bakar lebih memilih Zaid bin Tsabit daripada sahabat lainnya?
Jawabannya adalah.
Zaid memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an. Ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an dan merupakan seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah. Ia menyaksikan sajian yang terakhir dari Al-Qur’an, di kala penutupan masa hayat Rasul SAW. Di samping itu, ia dikenal sebagai orang yang wara’ (berhati-hati), sangat besar tanggung jawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya, dan taat dalam agamanya. Ia juga dikenal sebagai seorang yang cerdas. Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Engkau adalah penulis wahyu Rasul”.
Dengan beberapa sifat dan keistimewaan di atas, Abu Bakar Siddiq memilih dan menunjuknya sebagai pengumpul Al-Qur’an. Adapun alasan yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari kata-katanya, “Demi Allah, andaikata aku ditugaskan untuk memindahkan sebuah bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. (Al-Hadits)
Ketiga
Apakah yang dimaksud dengan kata-kata Zaid dalam riwayat Al-Bukhari “Sampai aku menemukan akhir surat Taubah pada Abu Khuzaimah, sedangkan pada orang lain tidak ada?”.
Jawabannya adalah:
Zaid r.a. tidak menemukan ayat tersebut tertulis pada mushaf sahabat-sahabat selain dari Abu Khuzaimah Al-Anshari. Namun, bukan berarti bahwa ayat tersebut tidak ada dalam hafalannya, karena Zaid sendiri hafal ayat tersebut dan kebanyakan sahabat pun telah hafal ayat tersebut. Hanya saja ia hendak mengompromikan antara hafalan dan tulisan, sebagaimana akan kami jelaskan (insya Allah) sekedar untuk menambah argumentasi dan data di samping untuk menjaga kehati-hatian. Dan karena langkah yang lurus tersebut maka sempurnalah pengumpulan Al-Qur’an.
D.  Langkah yang Tepat dalam Pengumpulan Al-Qur’an
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit telah mengambil langkah yang tepat, teliti, dan mantap. Langkah tersebut adalah suatu jaminan (yang pantas) dalam penulisan Al-Qur’an. Ia tidak menganggap cukup menurut yang dihafal dalam hati dan yang ditulis dengan tangannya serta hasil pendengarannya, tetapi ia bertitik tolak pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber.
1.    Sumber hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat.
2.    Sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Dua hal tersebut, yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena kesungguh-sungguhannya dan kehati-hatianya, ia tidak menerima tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasul SAW.
Hal ini dikemukakan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunan-nya, ia berkata, “Umar datang seraya mengatakan, “Siapa yang menerima Al-Qur’an dari Rasulullah SAW, hendaklah ia sampaikan”. Mereka menulisnya dalam lembaran-lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Zaid tidak mau menerimanya begitu saja sebelum disaksikan oleh dua orang saksi”. Hadis ini didukung pula oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Abu Bakar mengatakan kepada Umar dan Zaid, “Duduklah kalian berdua di pintu masjid, bila ada orang yang mendatangimu perihal Al-Qur’an dengan membawa dua orang saksi, maka tulislah”.
Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan tulisan, sedangkan As-Sakhawi mengatakan bahwa yang dimaksud dua orang saksi adalah orang yang menyaksikan tulisan tersebut di hadapan Rasulullah SAW. Karena itu, tampaklah usaha pemantapan, ketelitian, dan kesungguhan yang digariskan oleh Abu Bakar Siddiq kepada Zaid bin Tsabit”.
E.  Beberapa Keistimewaan Mushaf Abu Bakar As-Siddiq
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting.
1.    Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.    Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3.    Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.    Mushaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut menimbulkan kekaguman di hati para sahabat terhadap usaha Abu Bakar dalam memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan. Dan hal tersebut berkat taufik serta hidayah dari Allah SWT.
Ali berkata, “Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar r.a. Ia adalah orang yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an atau Kitabullah.
Pengumpulan Al-Qur’an adalah perbuatan yang mulia dan abadi. Sejarah senantiasa akan mengenangnya dengan keindahan dan pujian yang harum terhadap Abu Bakar karena pengarahan dan pengawasannya, dan kepada Zaid bin Tsabit karena pelaksanaan dan usahanya.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk satu mushaf pada masa Abu Bakar bukan berarti bahwa para sahabat sebelumnya tidak ada yang memiliki lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan Al-Qur’an. Kalangan sahabat juga memiliki mushaf tertentu, hanya saja mushaf-mushaf yang ada pada mereka itu tidak diteliti secara seksama sebagaimana halnya mushaf Abu Bakar yang benar-benar dilakukan penelitian, dan hanya mencantumkan bacaan yang tidak dinaskah serta kepopulerannya mencapai mutawatir (menurut semua orang). Semua orang sependapat untuk menerimanya. Di samping itu, mushaf Abu Bakar juga mencakup bacaan menurut qira’at sab’ah sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Ali secara pribadi memiliki mushaf khusus yang ditulisnya pada masa permulaan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Ia telah bertekad untuk menulisnya sehingga ia tidak keluar rumah, kecuali untuk melakukan shalat sampai ia selesai menulisnya. Diriwayatkan oleh As-Suyuti dari Muhammad Ibnu Sirrin dari Ikrimah bahwasanya ia berkata, “Pada saat pengangkatan Abu Bakar, Ali tetap berada di rumahnya. Ketika disampaikan kepada Abu Bakar, bahwa Ali tidak menyenangi baiatnya, maka Abu Bakar mengirim surat kepada Ali, “Apakah engkau tidak menyukai pengangkatanku?” Ali menjawab, “Aku melihat bahwa kitab Allah telah diselipi, jiwaku membisikkan kepadaku agar aku tidak memakai selendang atau berpakaian, kecuali bila aku melakukan shalat sampai aku selesai membukukannya”. Abu Bakar mengatakan kepadanya, “Benar yang telah engkau lakukan”. Ali memiliki satu mushaf, tetapi sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Sirin di dalamnya masih terdapat nasikh dan mansukh, tidak seperti mushaf Abu Bakar.
F.   Mengapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan dalam Satu Mushaf (Pada Masa Nabi)?
Di sini kami bertanya, “Mengapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushaf?
Jawabnya adalah.
1.    Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum selesai keseluruhannya.
2.    Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, bagaimana mungkin bisa dibukukan dalam satu buku.
3.    Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu, tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Hal ini tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
4.    Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW adalah sangat pendek atau dekat. Sebagaimana pembahasan terdahulu bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir adalah firman Allah SWT.
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ ....
Kemudian Rasul berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian, masanya sangat singkat dan tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
5.    Tidak ada motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam pada masa itu berada dalam keadaan baik, ahli baca (qurra’) begitu banyak, dan fitnah-fitnah yang terjadi dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar yang telah muncul berbagai gejala ke arah perpecahan dan banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur, sehingga dikhawatirkan Al-Qur’an akan lenyap.
Kesimpulan:
Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushaf, sedangkan situasi yang terjadi adalah sebagaimana yang kami sebutkan di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian setiap kali terjadi nasakh (ralat) atau munculnya sebab. Di samping itu, perlengkapan menulis pun tidak  mudah didapat. Kondisi ini tidak akan membantu untuk melepaskan mushaf yang lebih dahulu kemudian menggantinya dengan mushaf yang baru, karena tidak mungkin dalam setiap bulannya ada satu mushaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun, setelah masalahnya stabil, yaitu dengan berakhirnya penurunan Al-Qur’an, wafatnya Rasul, tidak ada lagi ralat, dan telah diketahuinya susunan ayat-ayat Al-Qur’an, maka dapat dilakukan pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. khalifah yang bijaksana, semoga Allah membalas jasanya atas perbuatan beliau dalam mengumpulkan Al-Qur’an beserta orang-orang Islam yang mengikuti jejaknya dengan balasan yang berlipat ganda.
G. Pengumpulan Al-Qur’an Di Masa Usman
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Usman r.a. berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Usman telah meluas dan orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari. Di antara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antar sesama. Hampir satu sama lainnya saling mengufurkan karena perbedaan pendapat dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah, “Pada masa pemerintahan Usman, seorang pengajar qiraat menyampaikan kepada anak didiknya. Demikian pula halnya dengan guru lainnya juga mengajarkan qiraat yang lain kepada anak didiknya. Ketika dua kelompok murid tersebut bertemu dan mendapatkan perbedaan, mereka berselisih dan perselisihan ini pun dilakukan oleh guru mereka sehingga satu sama lain saling mengufurkan. Berita tersebut sampai kepada Usman. Maka Usman berpidato dan seraya mengatakan, “kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih besar lagi perbedaannya”.
Setelah kejadian tersebut, Usman dengan kebenaran pandangannya bermaksud untuk melakukan tindakan pencegahan. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan. Mereka sepakat untuk menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota. Selanjutnya mushaf yang telah ada dimusnahkan dan dibakar sehingga tidak ada lagi jalan yang menyebabkan pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Usman melaksanakan keputusan yang sangat bijaksana itu. Ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, yang hafalannya dapat diandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit yang berasal dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun kedua puluh empat hijriyah. Usman mengatakan kepada mereka, “Bila anda sekalian menemui perselisihan pendapat tentang bacaan maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Usman meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar dan memerintahkan keempat orang sahabat tersebut untuk menyalinnya dan memperbanyaknya. Setelah selesai, ia mengembalikan mushaf abu Bakar kepada Hafsah.
H.  Motif Usman Mengumpulkan Al-Qur’an
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibnu Malik bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu Al-Yaman datang kepada Usman. Ketika itu, penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan daerah Armenia dan Adzerbaijan. Hudzaifah menjadi tercengang ketika melihat perbedaan kedua penduduk tersebut dalam bacaan Al-Qur’an. Hudzaifah berkata kepada Usman, “Ya Amirul Mukminin selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlihat dalam perselisihan dalam masalah kitab sebagaimana perselisihan di antara kaum Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya Usman mengirimkan surat kepada Hafsah yang isinya, “Kirimkanlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda”. Kemudian Hafsah mengirimkan kepada Usman. Khalifah Usman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdul Ar-Rahman Ibnu Al-Haris Ibnu Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Usman berpesan kepada ketiga kaum Quraisy, “Bila kalian bertiga dan Zaid bin Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Qur’an maka tulislah dengan ucapan atau lisan Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy”. Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran atau mushaf yang lain dibakar”. (H.R. Al-Bukhari)
I.     Perbedaan Antara Mushaf Abu Bakar dan Mushaf Usman
Perbedaan antara pengumpulan mushaf Abu Bakar dan Usman adalah sebagai berikut. Pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma, dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur. Sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Usman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.
Wallahu a’lam washalallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa alihi wasahbihi wa sallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail