Jumat, 01 Januari 2010

psikologi pendidikan

1. Paham lama menganggap anak adalah “orang dewasa dalam bentuk kecil”.
a. Apa maksud dari anggapan tersebut,
b. Apa implikasi dari paham tersebut bagi proses pendidikan anak
Jawab:
a. Usaha pendidikan anak, sudah sejak dulu dilaksanakan, misalnya di Yunani atau di Romawi Kuno, tetapi belum memandang anak sebagiamana seharusnya. Pada waktu itu belum ada keinsafan bahwa untuk pendidikan anak, diperlukan lebih dahulu pengetahuan tentang seluk beluk kehidupan anak, apalagi kehidupan jiwanya. Pada waktu itu anak dipandang sebagai manusia dewasa biasa dalam bentuk ukuran atau format yang serba kecil. Keluarga, dalam mengadakan pembagian makan, pakaian ataupun pekerjaan, anak-anak pun mendapat bagian yang sama, hanya dalam porsi, format ataupun bagian yang serba kecil atau sedikit belum diketahui bahwa untuk anak, diperlukan jenis makanan yang tersendiri, dengan pakaian yang corak dan potongan yang tersendiri, dan sebagainya, sesuai dengan sifat, keadaan dan kehidupan anak. Baru pada abad ke XVII, Johan Amos Comenius sebagai pendidik yang pertama berpikir bahwa anak tidak boleh dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. Karena itu pengajaran tentang hal-hal yang abstrak harus lebih dahulu bermula dari hal-hal yang konkrit. Hingga pada abad XIX, sebagai akibat langsung daripada perkembangan ilmu jiwa, mulai timbul bermacam-macam aliran dalam ilmu jiwa anak diantarnya yaitu William Stern dengan bukunya Psychologie Der Frohen Kindheit, Karl Buhler mewakili ilmu jiwa berpikir dalam hal ilmu jiwa anak, K. Koffa mewakili ilmu jiwa Gestalt, dan lain-lain. Tetapi dalam paham sekarang menilai bahwa seorang anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, karena ia mempunyai sifat berlainan dari orang dewasa. Ia harus tumbuh dan berkembang sampai dewasa agar dapat berguna bagi masyarakat. Walaupun pertumbuhan dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu, seorang anak dalam banyak hal bergantung kepada orang dewasa, misalnya mengenai makan, perawatan, bimbingan, perasaan aman, pencegahan penyakit dan sebagainya. Oleh karena itu semua orang yang mendapat tugas mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang, misalnya keperluan dan lingkungan anak pada waktu tertentu agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.

b. Sebenarnya implikasi dari paham tersebut bagi proses pendidikan anak sangat baik apabila kita meninjaunya dari paham lama, kalau kita lihat jika anak terus dimanja maka perkembangan pendidikannya tidak bisa berkembang sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sementara kalau kita tinjau dari paham sekarang ini, maka implikasi dari paham tersebut bagi proses pndidikan anak sangat mempengaruhi sekali. Kita tahu, anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah manusia yang memiliki dunianya sendiri. Anak merupakan manusia yang masih mengalami perkembangan, baik jasmani maupun kejiwaannya. Anak juga manusia yang masih harus mengembangkan segala potensi kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Sehingga anak harus menempuh pendidikan sedini mungkin dengan menggunakan metode bermain. Karena bermain merupakan cara anak belajar tentang kehidupan. Melalui kegiatan bermain, anak dapat bereksplorasi, menemukan jati diri, dan mengembangkan ide-ide yang mereka miliki. Bermain juga bisa memperkecil stres anak.

2. Dalam strategi konstruktivistik terdapat satu komponen penting yaitu Learning Community.
a. Apa arti penting Learning Community bagi anak atau individu?
b. Bagaimana langkah-langkah membangun Learning Community?
Jawab:
a. Learning community (LC) atau komunitas belajar merupakan suatu konsep terciptanya masyarakat belajar di sekolah, yakni proses belajar membelajarkan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara masyarakat sekolah dengan masyarakat di luar sekolah, agar prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan. Metode ini memberi siswa tanggung jawab untuk mempelajari materi pelajaran dan menjabarkan isinya dalam sebuah kelompok. Tugas yang diberikan harus jelas betul untuk memastikan bahwa sesi belajar yang dihasilkan akan akan efektif dan kelompok bisa mengatur diri mereka sendiri.

b. Langkah-langkah dalam membangun Learning Community adalah sebagai berikut :
1. Beri siswa materi pelajaran yang pendek dan terformat dengan baik, naskah singkat, grafik atau diagram yang menarik. Perintahkan mereka untuk membacanya dalam hati. Kelompok belajar akan bekerja sangat baik bila materinya cukup menantang atau terbuka bagi munculnya bermacam interpretasi.
2. Bentuklah sub-sub kelompok dan beri mereka ruang yang tenang untuk melaksanakan sesi belajar mereka.
3. Berikan petunjuk yang jelas yang memandu siswa untuk belajar dan menjelaskan materinya dengan cermat. Sertaka arahan semacam ini:
- Jelaskan isinya.
- Buatlah contoh, ilustrasi atau penerapan informasi atau gagasan itu.
- Kenali hal-hal yang tidak kalian setujui.
- Bantahlah apa yang ada dalam teks, buatlah sudut pandang yang bertentangan.
- Nilailah seberapa baik kalian memahami materinya.
4. Berikan tugas kepada anggota kelompok, misalnya sebagai fasilitator, pengatur waktu, pencatat atau juru bicara.
5. Perintahkan siswa untuk kemvali ke posisi semula dan lakukan salah satu atau beberapa hal berikut ini:
- Membahas materi secara bersama.
- Beri siswa pertanyaan kuis.
- Dapatkan pertanyaannya.
- Perintahkan siswa untuk menilai seberapa baik mereka memahami materi.
- Sediakan latihan penerapan atau kuis bagi siswa untuk menguji pemahaman mereka.
Jadi dalam Learning Community lebih ditekankan pada pendekatan kooperatif. Di dalam pendekatan kooperatif, siswa diminta bekerjasama secara berkelompok untuk menyelesaikan tugasnya. Jika kelompok sudah berhasil melaksanakan tugas, maka kelompok tersebut dianggap berhasil. Jadi targetnya adalah hasil belajar kelompok. Karena itu hasil belajar setiap siswa menjadi kabur, tidak terdeteksi. Agar hasil belajar setiap siswa nampak, maka perlu dilakukan kolaborasi. Dalam pendekatan kolaboratif, dimungkinkan terjadi saling belajar membelajarkan antar siswa sehingga pencapaian belajar siswa relatif sama (memang tidak mungkin sama). Siswa C dapat meminta bantuan ke siswa A dan siswa A hendaknya menolong siswa C sehingga siswa C penguasaannya menjadi lebih tinggi (bahkan bisa menjadi A). Ini dikatakan bahwa anak kelompok C “melompat” dari tidak mampu menguasai menjadi kelompok yang mampu menguasai.

3. Fenomena sekarang menunjukkan anak semakin acuh tak acuh kepada lingkunagnnya.
a. Coba saudara analisis beberapa aspek psikologis yang menjadi penyebab dari fenomena tersebut.
b. Bagaimana langkah-langkah penanganannya?
Jawab:
a. Beberapa aspek psikologis yang menjadi penyebab dari fenomena sekarang yang menunjukkan bahwa anak semakin acuh tak acuh kepada lingkungannya adalah sebagai berikut:
1. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan belajar. Biasanya, gejala sudah mulai tampak pada anak berusia di bawah 3 tahun.
kejadian autisme di seluruh dunia diperkirakan sebesar 5--15 anak per 10.000 kelahiran (Catherine Maurice, 1996). Sedangkan menurut CDC (April 2000), kejadian autisme terdapat pada 1 di antara 250 anak usia 3--10 tahun di Brick Township, AS. Antara 1987--1998, jumlah anak autisme yang terdaftar di Regional Centre in California meningkat 273%. Saat ini diperkirakan terdapat 400.000 penderita autisme di AS. kejadian autisme di seluruh dunia diperkirakan sebesar 5--15 anak per 10.000 kelahiran (Catherine Maurice, 1996). Sedangkan menurut CDC (April 2000), kejadian autisme terdapat pada 1 di antara 250 anak usia 3--10 tahun di Brick Township, AS. Antara 1987--1998, jumlah anak autisme yang terdaftar di Regional Centre in California meningkat 273%. Saat ini diperkirakan terdapat 400.000 penderita autisme di AS.
Interaksi sosial pada anak autisme dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Menyendiri (aloof): banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan akan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku serta perhatian yang terbatas (tidak hangat).
2. Pasif: dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.
3. Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak lain, namun interaksi ini sering kali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.

2. Hereditas dan Lingkungan
Hereditas dapat diartikan sebagai pewarisan atau pemindahan biologis karakteristik individu dari pihak orang tuanya. Pewarisan ini terjadi melalui proses genetic. Masing-masing individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti, bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemindahan dari cairan-cairan germinal dari orang tuanya. Di samping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun lingkungan sosial. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil interaksi dari hereditas dan lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa peran orang tua itu sangat penting dalam pertumbuhan anak dalam menginterpretasikan dirinya terhadap lingkungan sekitar baik itu hubungan sosial dengan masyarakat, alam sekitar dan pendidikan. Tapi sekarang anak lebih dikenalkan pada alam sekitar yang membahayakan di mana polusi di mana-mana sehingga anak malas untuk berinteraksi dengan alam sekitar yang mengakibatkan anak semakin acuh tak acuh pada lingkungannya.


3. Perkembangan Psikososial Anak
Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama teman-teman sebayanya. Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dan pendidik bisa merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar anak dapat berkembang secara seimbang.

b. Langkah-langkah Penanganannya dari fenomena di atas adalah sebagai berikut:
1. Gangguan pada autisme itu dapat diatasi dengan cara-cara sebagai berikut:
- Terapi
Tujuan terapi pada gangguan autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam hubungan sosial dan lingkungan sekitar. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, di mana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang penting.
Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater, dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial, dan perawat, sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini, serta memberi penanganan yang sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal.

- Pendekatan Edukatif
Anak dengan autisme seharusnya mendapat pendidikan khusus. Rencana pendidikan sebaiknya dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Juga perlu diperhitungkan tidak hanya kelemahan anak ini, namun juga kekuatan yang mereka punyai, agar guru dapat mempertimbangkannya dalam memberikan keterampilan baru. Yang terbaik bagi mereka adalah suatu bentuk pelatihan yang sangat terstruktur, sehingga kecil kesempatan bagi anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya, dan guru akan segera bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Latihan yang terstruktur ini juga mempermudah anak untuk dapat memperkirakan kemungkinan apa yang akan terjadi di sekitarnya. Idealnya, anak ikut serta pelatihan ini, dengan harapan ia dapat memperoleh kemampuan untuk bekerja sendiri. Pendekatan ini tentunya membutuhkan suatu kelas yang perbandingan murid dan gurunya rendah.

- Terapi Perilaku
Dengan modifikasi perilaku yang spesifik diharapkan dapat membantu anak autisme dalam mempelajari perilaku yang diharapkan dan membuang perilaku yang bermasalah.
Dalam suatu penelitian dikatakan, dengan terapi yang intensif selama 1-2 tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh terapi yang intensif. Pada akhir dari terapi, sekitar 42% dapat masuk ke sekolah umum. Agresivitas yang cukup banyak ditemukan pada anak autisme, memerlukan penangan yang spesifik, yakni Anak diajari keterampilan berkomunikasi (non-verbal). dan meningkatkan ketrampilan sosialnya dengan peragaan.

- Psikoterapi
Dengan adanya pengetahuan tentang faktor biologi pada autisme, psikodinamik psikoterapi yang dilakukan pada anak yang masih kecil, termasuk terapi bermain yang tidak terstruktur, adalah tidak sesuai lagi. Psikoterapi individual, baik dengan atau tanpa obat, mungkin lebih sesuai pada mereka yang telah mempunyai fungsi lebih baik, saat usia mereka meningkat, mungkin timbul perasaan cemas atau depresi ketika mereka menyadari kelainan dan kesukaran dalam membina hubungan dengan orang lain.

2. Melihat fenomena hereditas di atas dapat saya simpulkan bahwa peran orang tua itu sangat penting bagi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena Orang Tua merupakan sumber pertama pemebelajaran anak sebelum mereka mengenali lingkungan sekitar mereka. Jadi peran orang tua itu sangat diperlukan dalam membangun jiwa anak. Terutama peran seorang ayah yang biasanya diperhatikan oleh seorang anak. Peran orang tua yang ada di desa jauh berbeda daripada peran orang tua yang ada di kota. Di mana para orang tua di desa yang mayoritas mata pencahariannya adalah lebih fokus ke lingkungan seperti petani di sawah, nelayan di laut, dan peternak di kandang ternaknya. Jadi jika anak melihat orang tua mereka beraktifitas di lingkungan dengan cara mengolahnya, maka anak akan tertarik untuk ikut bermain dengan orang tua mereka sehingga membuat anak semakin mencintai lingkungannya.

3. kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya adalah melalui bermain. Orang tua dan pendidik mempunyai peranpenting dalam kegiatan bermain anak. Seperti sekarang ini telah banyak didirikan sekolah alam dengan salah satu misinya yaitu menumbuh kembangkan jiwa anak pada lingkungan alam. Selain itu banyak sekarang di taman kanak-kanak para pendidiknya mengajak anak-anak didiknya untuk ber out bond dengan tujuan agar anak lebih menghargai alam sekitar sejak dini diantara kegiatan out bond itu adalah ikut berpartisipasi bercocok tanam di sawah dengan petani sehingga anak-anak lebih menghargai pekerjaan petani menanam padi dan juga menghargai makanan yang mereka makan yaitu nasi dan ini akan lebih bermakna bagi anak-anak sehingga anak akan lebih menghargai alam sekitar mereka.

4. Saat ini tengah dikembangkan Home Schooling.
a. Apa kelebihan dan kelemahan dari model ini?
b. Apa dampak-dampak psikologis dari sistem pembelajaran ini bagi anak?
Jawab:
a. Kelebihan dan kelemahan Home Schooling
1. Kelebihan Home Schooling antara lain:
• adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga;
• mandiri, artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum;
• potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah;
• siap terjun pada dunia nyata, Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya;
• terlindung dari pergaulan menyimpang, Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya);
• Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

2. Kelemahan Home Schooling antara lain:
• membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua;
• memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak;
• keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah;
• ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan;
• proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

b. Dampak-dampak psikologis dari sistem Home Schooling bagi anak anatara lain:
1. Dilihat dari segi emosionalnya yang dikaitkan dengan ketakutan pada lingkungan sekolah:
- Takut akan situasi sekolah secara menyeluruh.
- Takut aspek khusus lingkungan sekolah: berinteraksi dengan guru, dan teman,
- School Phobia, menybabkan anak menolak untuk pergi ke sekolah.
2. Dilihat dari segi fantasinya:
- Tidak dapat memahami dan menghargai kultur orang lain.
- Tidak dapat ke luar dari ruang dan waktu, sehingga dengan demikian anak tidak dapat memahami hal-hal yang ada dan terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain.
- Tidak dapat melepaskan diri dari kesukaran dan permasalahan serta melupakan kegagalan atau kesan-kesan buruk.
- Tidak dapat mencari keseimbangan batin.
- Tidak dapat membuat perencanaan untuk dilaksanakan di hari esok, lusa dan di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail